REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dakwaan KPK untuk perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim terkait pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akan menguraikan peran mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Surat dakwaan akan dibacakan pada Senin (14/5).
"Pada Senin, 14 Mei 2018, direncanakan persidangan perdana kasus BLBI dengan tersangka SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung), tersangka pertama di KPK," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat (11/5).
Menurut Febri, KPK akan menguraikan perbuatan SAT bersama dengan siapa saja dalam perbuatan korupsinya. KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemilik PT Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim.
"KPK sudah mempersiapkan dengan maksimal, dakwaan sudah disampaikan ke pengadilan. Ada sekitar 49 halaman yang menguraikan perbuatan terdakwa yang diduga merugikan keuangan negara dan kami akan membuktikan satu per satu isi dakwaan itu," tambah Febri Diansyah.
Setiap saksi yang nantinya dipanggil jaksa penuntut umum KPK diharapkan dapat hadir dan memberikan keterangan yang benar. Menurut Febri, KPK sudah melakukan pemetaan aset sampai akhirnya SKL diterbitkan.
"Para saksi yang diperiksa di penyidikan saat dijawalkan hadir di persidangan wajib hadir dan menyampaikan keterangan benar di persidangan agar bisa diuji siapa saja pihak-pihak yang harus bertanggung jawab terkait kasus BLBI," ungkap Febri.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004. Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.
Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya, ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.