Senin 30 Apr 2018 20:50 WIB

KPK Tidak Ajukan Banding Terhadap Vonis Setnov

KPK tidak akan melakukan banding atas vonis yang dijatuhkan hakim terhadap Setnov.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyampaikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/4).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyampaikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan tidak akan mengajukan banding terhadap putusan pengadilan dalam perkara korupsi KTP-elektronik (KTP-el) dengan terdakwa Setya Novanto (Setnov). KPK menilai majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) telah mengadopsi hampir seluruh dakwaan terhadap Setnov.

"Berhubungan apakah KPK akan banding dari putusan yang ditetapkan oleh hakim pada kasus SN, KPK menerima putusan tersebut tidak akan melakukan banding karena kami memanggap itu sudah lebih dari 2/3," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK, Jakarta, Senin (30/4).

Dalam perkara korupsi KTP-e, Novanto telah divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah pembayaran uang pengganti 7,3 juta dolar AS (sekitar Rp65,7 miliar dengan kurs Rp9.000 per dolar AS saat itu) dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan Novanto.

Menurut Syarif, apa yang telah disangkakan dalam dakwaan terhadap Novanto hampir seluruhnya diadopsi oleh majelis hakim dalam putusannya tersebut. "Sehingga tidak alasan yang bisa kami pakai untuk banding. Kami nuntut 16 tahun dan diputus 15 tahun dan semua yang lain-lain itu dikabulkan oleh majelis hakim," ujarnya Syarif.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan bahwa lembaganya sudah memutuskan menerima putusan itu karena akan fokus pada tahap lebih lanjut. Febri mengatakan pada tahap selanjutnya, KPK akan mencermati fakta-fakta persidangan dan melakukan pengembangan untuk mencari pihak lain yang terlibat dalam korupsi KTP-el.

"Kami menduga masih ada pihak-pihak lain baik dari sektor politik, dari swasta, maupun dari kementerian dari sektor birokrasi itu yang harus bertanggung jawab dalam proyek KTP-e yang diduga merugikan negara Rp2,3 triliun ini," ucapnya.

Selain itu, kata Febri, KPK juga akan mendalami fakta-fakta lain terkait dengan adanya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam perkara Novanto tersebut. Setya Novanto divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-e Tahun Anggaran 2011-2012.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 15 tahun dan denda Rp500 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Yanto dalam sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/4).

Vonis itu berdasarkan dakwaan kedua dari Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

"Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS dikurangi dengan uang yang dikembalikan sebesar Rp5 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terdakwa tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama dua tahun," kata Yanto.

Vonis itu lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti sejumlah 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp5 miliar subsider tiga tahun penjara.

Majelis hakim yang terdiri atas Yanto sebagai ketua majelis hakim dengan anggota Frangki Tambuwun, Emilia Djajasubagja, Anwar, dan Sukartono juga mencabut hak politik terdakwa untuk menduduki jabatan tertentu selama beberapa waktu.

"Mencabut hak terdakwa dalam menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pemindaan," ungkap dia.

Hakim menolak permohonan Setya Novanto sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) seperti dalam tuntutan JPU KPK.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement