REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Ombudsman Republik Indonesia mengumumkan hasil investigasi mengenai kondisi sebenarnya di lapangan terkait tenaga ker ja asing (TKA). Ombudsman RI menemukan banyak TKA di Indonesia bekerja sebagai pekerja kasar dan dibayar lebih mahal hingga tiga kali lipat dibanding tenaga lokal.
"TKA yang jadi buruh kasar ada di mana-mana. Di Morowali saja ada 200 orang yang jadi sopir," kata anggota Ombudsman RI Bidang Pengawasan Sumber Daya Alam, Tenaga Kerja, dan Kepegawaian, Laode Ida, di kantornya, Kamis (26/4). Investigasi tersebut dilakukan pada Juni-Desember 2017 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatra Utara, dan Kepulauan Riau.
Laode Ida melanjutkan, TKA paling banyak ditemui di sektor pembangunan smelter dan konstruksi. Di sektor-sektor tersebut, kata dia, biasanya pekerja dibagi ke dalam tiga tingkatan berdasarkan warna topi proyek yang dikenakan. Topi kuning untuk pekerja di level buruh, topi merah level supervisor, dan topi hijau level manajer. "Harusnya TKA ada di hijau dan merah. Tapi, 90 persen topi kuning," ujar dia.
Ombudsman menemukan mayoritas TKA yang bekerja di Indonesia berasal dari Cina, meski negara itu hanya menempati urutan ketiga sebagai negara dengan investasi terbesar di Indonesia setelah Singapura dan Jepang.
"Informasi di lapangan tenaga lokal hanya digaji sepertiga dari gaji TKA," kata Laode Ida.
Ombudsman RI juga merilis 10 daerah dengan jumlah TKA terbanyak adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua Barat.
Persoalan TKA mulai jadi perbincangan selepas pemerintahan Presiden Joko Widodo memberlakukan kebijakan bebas visa kunjungan kepada warga 169 negara melalui Perpres sepanjang 2015-2016 dengan alasan mendongkrak pariwisata. Sejak itu, laporan soal keberadaan TKA legal maupun ilegal bermunculan di berbagai daerah sementara petugas Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menemukan ratusan TKA ilegal menggunakan kelonggaran bebas visa kunjungan.
Isu TKA kembali dihangatkan keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Pemerintah mengklaim, regulasi itu untuk kepastian hukum soal TKA.
Terkait temuan hasil investigasi, Ombudsman RI menyarankan pemerintah mengevaluasi kebijakan bebas visa demi membatasi masuknya TKA ilegal. Pemerintah juga disarankan membuat sistem teknologi informasi mengenai integrasi data penempatan dan pengawasan TKA serta memberikan sanksi terhadap perusahaan pemberi pekerjaan kepada TKA yang melanggar aturan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga diimbau mengevaluasi perjanjian bilateral dengan negara penanam modal berdasarkan jenis dan nilai investasinya. Laode Ida menambahkan, harus ada alih keahlian bagi tenaga kerja lokal dan transparansi membayar upah TKA melalui bank nasional. Menaker Hanif Dhakiri menuding, isu TKA rawan dipolitisasi sejumlah pihak pada tahun-tahun politik seperti saat ini.
Hanif mengklaim, kekhawatiran sejumlah pihak terhadap banyaknya TKA pekerja kasar akibat dari Perpres Nomor 20/2018 tidak akan terjadi. "Ka au kasus pelanggaran, ya ditindak. Dan, pemerintah selama ini sudah dan sedang juga akan terus melakukan penegakan hukum bagi tenaga kerja asing yang melanggar," kata dia.
Sementara itu, jajaran Polri berjanji mengetatkan pengawasan TKA menyusul ditekennya Perpres Nomor 20/2018. "Kami akan lakukan pengawasan. Kalau ada pelanggaran pida na, kami tindak!" kata Kabaintelkam Polri Komjen Lutfi Lubihanto di Jakarta, kemarin. Namun, untuk memperkuat pengawasan, ia mengakui kepolisian perlu mengajukan regulasi yang lebih baik.
Direktur Bina Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Kemenaker Iswandi Hari menambahkan, banyak TKA melanggar telah dideportasi, misalnya dari Sulawesi Tenggara. "Sepanjang 2015 sampai hari ini, kurang dari 1.000 TKA (dideportasi)," ujarnya. n rr laeny sulis tyawati/antara ed: fitriyan zamzami