REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/4). Dalam penjelasannya, Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengungkapkan menemukan adanya 52 transaksi non-tunai dan 1.066 transaksi tunai yang mencurigakan.
"Tapi apakah itu peristiwa pidana, belum tentu. Itu perlu divalidasi lagi oleh orang yang berwenang," kata Kiagus.
Kiagus mengungkapkan, 52 transaksi mencurigakan tersebut dilakukan oleh pejawat. Menurutnya yang memiliki kewenangan untuk melakukan itu hanyalah pejawat. Namun hingga saat ini Kiagus mengaku PPATK masih menganalisa dan menelusuri adanya transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut apakah bisa dikategorikan pelanggaran pemilu atau terdapat unsur pidana korupsi.
"Tidak mudah untuk menetapkan seorang, melaporkan itu ke penegak hukum, itu tidak mudah," katanya.
Agus berpesan, apa yang dilakukan PPATK bukanlah untuk mencari popularitas atau membuat gaduh, melainkan sebagai partisipasi PPATK untuk menciptakan pemilu yang bersih. Sementara itu Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae mengatakan analisa adanya transaksi mencurigakan tersebut dilakukan sejak akhir 2017 hingga kuartal pertama di tahun 2018, yaitu bulan Maret 2018.
"Kami sudah berkoordinasi case in case, seperti korupsi misalnya itu akan diserahkan KPK, kalau pelanggaran pemilu ke Bawaslu," ujarnya usai RDP.
Dian enggan mengungkapkan berapa jumlah transaksi yang paling besar dilakukan, namun ia mengakui jumlahnya mencapai miliaran rupiah dan dilakukan merata hampir di seluruh daerah.
"Tentu itu merefleksikan ya perkembangan ekonomi di daerah masing-masing dengan APBD di daerah masing-masing, saya kira itu kelihatan ada hubungannya," ucapnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar John Kenedy Aziz mempertanyakan kebenaran seluruh transaksi mencurigakan tersebut dipakai untuk pilkada. Selain itu politikus PAN, Daeng Muhammad mengatakan PPATK diharapkan membuat regulasi yang sesuai dengan kepentingan masyarakat.
"Sehingga jangan hanya buat aturan tapi ketika pelaksanaan di lapangan itu enggak nyambung. Jangan hanya bicara ini mencurigakan, terus kalau sudah mencurigakan itu mau ngapain? Tindak lanjutnya apa?," tanyanya.