Senin 16 Apr 2018 14:19 WIB

Suriah Janjikan Pembalasan, RI Serukan Damai

Stasiun televisi pemerintah mengumumkan penerjunan 5.000 personel ke Douma

Dalam gambar yang diambil oleh Angkatan Laut AS, kapal penjelajah kendali-rudal USS Monterey (CG 61) menembakkan rudal Tomahawk ke Suriah, Sabtu, (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.
Foto: Letnan john Matthew Daniels / Angkatan Laut AS melalui AP
Dalam gambar yang diambil oleh Angkatan Laut AS, kapal penjelajah kendali-rudal USS Monterey (CG 61) menembakkan rudal Tomahawk ke Suriah, Sabtu, (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kementerian Luar Negeri Indonesia menyerukan penyelesaian konflik di Suriah melalui cara-cara damai. Seruan itu disampaikan menyusul serangan udara militer Amerika Serikat (AS), Kerajaan Inggris, dan Prancis ke Suriah akhir pekan ini.

"Indonesia kembali menekankan pentingnya penyelesaian konflik di Suriah secara komprehensif melalui negosiasi dan cara-cara damai," tulis keterangan resmi Kementerian Luar Negeri RI yang dilansir Sabtu (14/4) malam.

 

Selain itu, Kemenlu RI juga menekankan perlunya menjaga keselamatan warga sipil. Dalam keterangan tersebut, Indonesia juga mengecam penggunaan senjata kimia di Suriah. Penggunaan senjata kimia yang ditudingkan kepada rezim Presiden Bashar al-Assad itulah yang menjadi alasan AS dan sekutunya melancarkan serangan.

Namun, sebaliknya, RI juga meminta semua pihak menghormati nilai dan hukum internasional, khususnya piagam PBB mengenai keamanan dan perdamaian internasional. AS dan sekutunya diketahui melakukan serangan tanpa konsensus internasional sesuai piagam tersebut.

 

Perang sipil di Suriah terjadi seiring tuntutan mundur terhadap Presiden Bashar al-Assad yang diserukan warga Suriah pada 2011. Militer Suriah menekan seruan itu dan memunculkan pemberontakan bersenjata.

Rezim al-Assad didukung Rusia, Iran, dan kelompok Hizbullah dari Li banon. Sedangkan, para pemberontak yang terdiri atas berbagai faksi mendapatkan dukungan dari negara-negara barat, seperti AS, Prancis, dan Inggris hingga negara-negara Teluk dan Turki.

 

Belakangan, negara-negara Barat menuding militer Suriah menggunakan senjata kimia terhadap warga sipil dalam serangan ke Douma, Ghouta timur, beberapa waktu lalu. Assad menyangkal tudingan itu dan menyatakan bahwa serangan kimia hanya rekayasa pemberontak.

PBB sejauh ini masih menyiapkan tim penyelidik untuk mengambil kesimpulan soal serangan di Douma. Kendati demikian, AS, Inggris, dan Prancis mengambil tindakan terlebih dahulu dengan menyerang sejumlah fasilitas penelitian Suriah di Homs dan Damaskus. Di antara yang diserang adalah Pusat Studi dan Riset Saintifik Suriah di Barzeh, Damaskus, serta gudang senjata kimia dan bunker Him Shinsar di Homs.

"Misi telah terlaksana," kata Presiden Amerika Serikat Donald Trump melalui Twitter, Ahad (15/4). Kata-kata serupa juga digunakan mantan presiden AS George W Bush saat melancarkan invasi ke Irak pada 2003 lalu yang menyebabkan instabilitas berkepanjangan. Prancis dan Inggris membantu AS meluncurkan sekitar 105 rudal ke Suriah.

Serangan tersebut menjadi intervensi terbesar yang pernah dilakukan sekutu terkait perang di Suriah. Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nikki Haley menegaskan, Paman Sam akan kembali menyerang jika Suriah memakai senjata gas beracun lagi.

Bagaimanapun, serangan akhir pekan lalu membuka potensi kian parahnya perang sipil di Suriah. "Kemarin saya berjanji kepada Anda bahwa kami tidak akan duduk ber pangku tangan jika ada agresi, dan Suriah memenuhi janji itu," ujar Perwakilan Permanen Suriah untuk PBB Bashar al-Jaafari dalam sesi di Dewan Keamanan PBB yang digelar pada Sabtu, dikutip Syrian Arab News Agency.

Di Suriah, stasiun televisi pemerintah mengumumkan penerjunan 5.000 personel ke Douma yang merupakan wilayah pertahanan terakhir oposisi di Ghouta, Ahad (15/4). Langkah itu sebagai persiapan penyerangan kembali ke Douma. Sejauh ini, ribuan warga sipil masih terjebak di wilayah tersebut.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyampaikan keprihatinan mengenai aksi gabungan terhadap Suriah. "Di Suriah, kita menyaksikan bentrokan dan perang perwalian yang melibatkan beberapa militer nasional, sejumlah kelompok oposisi bersenjata, banyak milisi nasional dan internasional, petempur asing dari mana saja di dunia, dan bermacam organisasi teroris," kata dia.  reuters/febrian fachri ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement