Senin 16 Apr 2018 04:00 WIB

Pesta Miras Hingga Tewas? Wajar

Pesta miras yang berujung pada kematian itu, merupakan salah satu kegiatan bunuh diri

Pesta miras kembali menelan korban.
Pesta miras kembali menelan korban.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uum Zakaria *)

Beberapa media khususnya di Jawa Barat sedang memberitakan tentang banyaknya pemuda melakukan pesta minuman keras hingga tewas. Tidak tanggung-tanggung, data terakhir dari Kapolda Jabar menyebutkan bahwa ada 52 orang tewas karena akibat miras di Cicalengka, Kabupaten Bandung.

Ini bukan sesuatu yang aneh di kalangan kita. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa headline berita selalu melihat dari sudut pelaku saja, mengapa tidak dari sudut yang lain. Misal yang lebih berimbang seperti “kelalaian aparat mengontrol sosial mengakibatkan pesta miras dimana-mana” atau “kelalaian masyarakat dalam saling mengontrol sosial mengakibatkan pesta miras dimana-mana”, atau “tempat produksi miras tidak ditutup mengakibatkan pesta miras dimana-mana” itu lebih substansial dan lebih berimbang.

Kasus-kasus seperti itu membukakan pikiran masyarakat dan menunjukkan bahwa telah hilangnya kontrol sosial di dalam masyarakat. Perlu kita pahami bahwa fenomena seperti itu merupakan fenomena yang hadir di tengah masyarakat modern yang melahirkan kekalutan mental. Kekalutan mental ini terjadi, bisa jadi, karena semakin pesatnya pembangunan. Industrialisasi yang semakin maju justru menjadikan banyaknya masyarakat yang susah atau tidak mampu melakukan adjustment dalam artian penyesuaian diri dengan cepat terhadap berbagai perubahan sosial.

Konflik internal maupun eksternal juga terbuka, sehingga menimbulkan kekalutan bagi orang-orang yang tidak paham dan tidak siap menghadapi dinamika sosial. Kemudian, muncul sesuatu yang disebut mental disorder dalam diri individu dan masyarakat. Individu yang berhasil menangani dinamika sosial itu dia akan berkembang dengan potensinya, tetapi bagi individu yang lain yang memiliki mental yang lemah yang merasa kaget dengan dinamika sosial yang ada, maka mereka akan lari pada hal-hal yang tidak normatif.

Kajian sosiologis menyatakan, bahwa pesta miras merupakan salah satu deviasi sosial sekunder, apalagi sampai tewas. Tetapi dalam hal ini, masyarakat menjadi lebih penting perannya untuk mencegah penyimpangan tersebut hadir, sehingga ada sesuatu yang disebut preventif dalam ilmu sosiologi sebagai langkah pengendalian sosial sebelum terjadi hal-hal yang keluar dari norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Emile Durkheim telah memaparkan dalam fenomena deviasi atau penyimpangan sosial yaitu teori anomie. Pesta miras yang selalu berujung pada kematian itu, merupakan salah satu kegiatan bunuh diri, lantas ini yang disebut dengan anomie di dalam masyarakat. Teori anomie Emile Durkheim itu menjelaskan mengenai kekacauan yang tumbuh dalam masyarakat, dimana masyarakat tumbuh dalam kehidupan yang tanpa norma moral. Oleh karena itu, sinergitas berbagai elemen masyarakat sangat vital dalam konteks pengendalian sosial.

Apabila kita kaji secara psikologis, fenomena pesta miras yang terjadi dikalangan anak muda tersebut menunjukan bahwa sedang terjadi sebuah mental disorder. Dalam patologi sosial, ini termasuk dalam teori intrapsikis dan behavioristik. Teori intrapsikis menyatakan, bahwa fenomena ini termasuk dalam golongan gangguan jiwa yang mana lokus atau tempat psikopatologi itu ada di dalam kepribadian seseorang sebagai bentuk kesalahan karakter yang serius, atau sebagai konflik yang menyusup tajam pada kejiwaan.

Kemudian berdasarkan teori behavioristik, tingkah laku tersebut termasuk ke dalam tingkah laku abnormal, menyimpang, kalut, sakit, adalah bentuk kebiasaan-kebiasaan yang maladatif, salah dalam cara penyesuaian dirinya terhadap lingkungan masyarakat serta dinamika sosial yang berkembang saat ini. Lalu apa yang menyebabkan seseorang mengalami kekalutan mental?

Menurut Kartono (2014, hal. 284), ada tiga hal yang menyebabkan seseorang mengalami kekalutan mental. Yaitu (1) kepribadian yang lemah (2) konflik-konflik sosial dan konflik kultural yang mempengaruhi dirinya (3) internalisasi dari pengalaman yang keliru.

Berdasarkan literatur tersebut bisa jadi apa yang terjadi pada orang-orang yang melakukan pesta miras itu memang lahir dari kekalutan mental dan ketidak mampuannya dalam menghadapi dinamika sosial yang ada. Namun kita juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada pelaku sebagai deviator, tetapi juga banyak objek yang terlibat dalam hal ini yaitu pengedar mirasnya dan bagaimana penegak hukum atau aparat hukum tidak pernah menuntaskan pemasaran haram ini.

Bukankah selalu ada berita tentang komitmen polisi dalam memberantas miras serta infografik yang ditampilkan menunujukkan pemusnahan botol-botol minuman keras, mana kualitatif dari infografik itu? Kita terlalu terpaku pada sesuatu yang bersifat formil tidak substantif.

Jadi wajar fenomena itu terjadi. Jangan hanya disalahkan pelaku, tetapi juga kita semua tidak memperhatikan lingkungan masyarakat kita sendiri. Tetapi, memang pada dasarnya, kita berada pada zaman dimana orang yang mengingatkan tentang kebenaran akan dibenci bahkan dimusuhi oleh orang yang diingatkan. Tetapi, yang menjadi lebih masalah lagi adalah orang yang suka mengingatkan itu memilih untuk diam dan berputus asa untuk mengajak dan mengingatkan pada kebenaran.

Bukankah sejak zaman dulu--sejak zaman Nabi Adam AS--kebanaran itu selalu ditentang. Karena itu semua keniscayaan antara tesis dan antitesis. Kita justru harus lebih resah dan gelisah tatkala banyak anak-anak muda saat ini terjerumus ke dalam detoksifikasi lingkungan, ketimbang resah mencari pekerjaan atau takut menjadi pengangguran.

Inilah akibatnya betapa bahayanya ketika anak-anak muda dijejali dengan hal-hal yang materialistik dan terlalu eksakta dalam memilih kehidupannya ketimbang memerhatikan hal-hal yang kecil tetapi efeknya besar. Seperti gerakan-gerakan sosial untuk membangun mental dan membangun modal sosial dikalangan generasi muda.

Bukankah orang-orang terdahulu memupuk itu? Tidak memupuk sebagai pekerja atau bagaimana caranya mencari pekerjaan yang pada akhirnya berujung pada tingkat stres tinggi yang tidak terkontol pada akhirnya berlari pada hal-hal yang berada diluar nalar seperti pesta miras dan lain-lain.

Lantas bagaimana langkah represif dalam menghadapi realitas yang ada tentang fenomena ini? Pada dasarnya adalah kita harus membiasakan luwes ketika melakukan peran sebagai masyarakat yang berkewajiban saling mengingatkan dan menasihati terhadap sesama sebagaimana perintah Alquran. Luwes dalam harapan kita adalah mengoptimalkan pranata-pranata sosial yang ada didalam masyarakat, terutama pemuda-pemudinya untuk membangun dan mengoptimalkan gerakan-gerakan sosial dan pendidikan di masyarakat.

Guru sekolahan harus mendarah daging dalam mendidiknya di masyarakat, tidak hanya dan harus di dalam ruang kelas yang formal. Para santri dan santriwati mulai bermekaran di masyarakat untuk menggerakkan semangat dakwahnya dalam situasi yang luwes, tidak harus selalu di mimbar-mimbar atau panggung-panggung yang sifatnya informal jangan terlalu merasa moralis.

 

Kemudian organisasi dan komunitas-komunitas saling bersatu jangan terlalu fatalis ketika menemukan isu-isu sosial sehingga main yang aman-aman. Para kapitalis mulailah belajar arti sosial, pemerintah, lembaga aparat dan sebagainya mestinya kita bersinergi membangun generasi muda yang memiliki modal sosial tinggi agar memiliki daya adjustment yang tinggi terhadap dinamika sosial yang hendak tumbuh sampai nanti.

 

Di sisi lain, semua elemen yang ada di masyarakat mulai dari ulama, intelektual, pengusaha, pemuda, guru, santri, mahasiswa, dan pelajar untuk bersatu dalam rangka menyelesaikan problematika yang ada di bumi pertiwi ini. Salah satunya, problematika meningkatnya konsumsi minuman keras.

Kita harus bahu membahu mencerdaskan umat untuk segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, karena hanya dengan aturan Islamlah yang akan menghentikan peredaran miras di tengah-tengah masyarakat, karena sudah jelas dalam Aqluran bahwa minuman keras adalah sesuatu yang diharamkan. Hanya dengan aturan Islam pula kita bisa meraih kebangkitan yang hakiki, sehingga ketika Islam diterapkan akan terwujudlah Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di bumi pertiwi.

*) Ketua Departemen Sosial Politik BEM Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UPI Periode 2015

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement