REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan maaf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) terkait dengan soal-soal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi, dianggap tidak cukup. Kemendikbud harus segera mengevaluasi UNBK terutama dalam pembuatan soal yang sulit dikerjakan siswa-siswi.
Wakil Sekretaris Jenderal Forun Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, permintaan maaf Kemendikbud setelah para peserta UNBK SMA tahun 2018 mengeluhkan sulitnya soal-soal UNBK, terutama mata uji matematika, mungkin saja dapat meredakan derasnya komentar pedas para siswa di berbagai media sosial. Namun pengakuan dan permintaan maaf tersebut harus disertai evaluasi menyeluruh atas soal-soal UNBK.
FSGI terusik dengan cepatnya pihak Kemdikbud yang mengakui bahwa pemerintah menaikkan tingkat kesulitan soal UNBK tahun ini. Soal UNBK 2018 sudah menerapkan High Order Thinking Skills (HOTS) dan telah sesuai dengan kisi-kisi.
Pelaksanaan UNBK.
Menurut Satriawan, setelah dipantau, kegiatan UNBK banyak menyisakan persoalan. Selain dari masalah teknis, pelaksanaan UNBK SMA/MA menyisakan persoalan non teknis yakni munculnya keluhan dari para siswa terkait soal matematika yang dirasakan sangat sulit.
Kesulitan para siswa menjawab soal soal UNBK Matematika tersebut diakibatkan oleh ketidaksamaan soal yang keluar dengan kisi-kisi soal dan try out yang sudah dilakukan berkali-kali sebelum UNBK. Tentu hal ini membuat kondisi psikologis siswa terganggu.
"Para siswa merasa mereka sudah belajar optimal, sesuai kisi-kisi soal dan try out yang dipelajari berbulan-bulan.Tapi, soal yang keluar ternyata jauh dari perkiraan," kata Satriwan Salim melalui siaran pers, Ahad (15/4).
Kemendikbud sendiri menilai, bahwa masih banyak sekolah yang belum sinkron antara kemampuan guru dan standar nasional, termasuk dengan kisi-kisi yang diturunkan dan sudah disosialisasi kepada para guru melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Hal ini menjadi salah satu pemicu siswa kesulitan dalam mengerjakan soal yang diberikan Kemendikbud.
Namun, Salim menyebut, pernyataan tersebut kurang tepat. Dia menjelaskan, dalam konteks teori pendidikan, tingkatan keterampilan berpikir atau cognitive skills yang merupakan domain pengetahuan tersebut ada enam tingkatan/jenjang, kemudian dikenal dengan Taksonomi Bloom (Benyamin S. Bloom).
Untuk memudahkan mengingatnya, dalam tataran praktis pendidikan dikenal kemudian istilah C-1 (Mengingat), C-2 (Memahami), C-3 (Menerapkan), C-4 (Menganalisis), C-5 Menilai/Mengevaluasi dan C-6 (mencipta/Kreasi). Untuk keterampilan berpikir C-1 sampai dengan C-3 disebut 'keterampilan berpikir tingkat rendah' sedangkan C-4 sampai C-6 disebut 'keterampilan berpikir tingkat tinggi'.
"Faktanya, kondisi saat ini para siswa kita masih berpikir di level tingkat rendah (Lower Order Thinking Skill/LOTS), sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai assessment internasional, seperti PISA dan TIMSS," ujar Satriwan.
Kemudian, keterampilan berpikir HOTS, mestinya bukan dititikberatkan di akhir pembelajaran siswa ketika mereka harus dihadapkan dengan soal ujian ketika UNBK. Melainkan, berpikir tingkat tinggi (Higher order thinking skill) itu lebih ditunjukkan ke dalam proses pembelajaran selama tiga tahun di sekolah.
Jika ingin para siswa kita berpikir pada level HOTS, guru pun harus menampilkan proses pembelajaran yang HOTS pula di dalam kelas (sekolah). Sebab, akan percuma ketika soal ujian berada di level tinggi, tetapi proses pembelajaran siswa tidak pernah menyentuh kemampuan berpikir kritis, evaluatif dan kreatif.
Salah satu anggota FSGI Slamet Maryanto menuturkan, sejauh ini fakta di lapangan memperlihatkan ketika menjelang ujian nasional (UN) para guru dan siswa hanya fokus men-drill (mempelajari) soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya. Dalam try out beberapa kali yang diselenggarkan sekolah dan Dinas Pendidikan setempat, siswa hanya dilatih untuk mampu menjawab soal-soal secara cepat-tepat
Dengan pembelajaran yang diterapkan sejauh ini sistem belajar mengajar siswa-siswi tidak diarahkan kepada proses menumbuhkan kesadaran dan keterampilan berpikir kritis tersebut di dalam kelas. "Pembelajaran tidak lagi menumbuhkan hal-hal kreatif dalam kehidupannya. Inilah cacat yang selalu terjadi dalam penyelenggaraan UN," ujarnya.
FGSI pun kembali mempertanyakan tujuan dilaksanakan UN itu sendiri. Untuk apa sesungguhnya UN tersebut digunakan pemerintah. Keberadaan UN ini sebenarnya sangat paradoks karena ujian ini diwajibkan tapi tidak lagi dijadikan penentu kelulusan, biaya pelaksanaannya mahal, dan penggunaan hasilnya tidak berkelanjutan pula karena masuk ke universitas juga tidak pakai nilai UN.
Jika tujuannya adalah untuk pemetaan, apakah harus soal yang sulit diberikan kepada siswa. Dan jika memang dipakai pemerintah sebagai alat pemetaan kualitas sekolah, apa tindak lanjut pemerintah setelah UN ini selesai dilaksanakan.
FGSI pun mempertanyakan, jika keberadaan UN hasilnya digunakan untuk memotret kualitas sekolah, hal tersebut sangat paradoks. Karena pemerintah sudah melakukan akreditasi sekolah yang mengacu pada delapan standar nasional pendidikan. Dan hasil akreditasi sekolah ini lebih komprehensif untuk memotret kualitas sebuah sekolah.
"Kami menilai Kemdikbud sebenarnya galau terkait keberadaan UN ini. Kita justru mempertanyakan kembali tujuan dan fungsi UN sesungguhnya. Jangan sampai biaya besar dan energi sekolah habis untuk melaksanakan suatu program besar yang tidak jelas fungsi dan kegunaannya," ujar Satriawan.