REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan, kepolisian lebih baik menyatakan ketidaksanggupannya ke publik jika memang tidak mampu mengusut tuntas kasus penyerangan terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan. Ini lebih baik daripada membuat korban berharap sesuatu yang tak jelas.
"Lebih baik katakan (tidak sanggup) dan masukkan ke dalam daftar kasus-kasus yang tidak bisa terungkap, toh di Amerika saja banyak kasus yang tidak bisa terungkap," kata dia saat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (11/4).
Atau, lanjut Boyamin, kepolisian bisa saja menutup kasus tersebut dengan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus penyerangan Novel. "Atau di-SP3 pun boleh saja. Nanti kalau ada bukti baru, kan dibuka lagi (kasusnya)," tuturnya.
Boyamin menambahkan, semua sepakat bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di dalam kasus penyerangan Novel. Peristiwanya pun ada, tetapi si pelaku tidak bisa ditemukan.
"Betul pelanggaran HAM, peristiwanya ada, tapi pelakunya tidak ditemukan," ujarnya.
Pada hari ini, 11 April 2018, kasus Novel tepat berusia satu tahun. Selama itu pula, kasus yang membuat mata kiri Novel rusak itu belum dituntaskan. Polisi mengaku telah membuat tim khusus untuk mengusut kasus Novel. Namun, hal itu tak memberikan hasil yang memuaskan.
Setahun yang lalu, Novel, setelah menunaikan shalat Subuh di masjid dekat rumahnya, diserang oleh dua orang yang menggunakan sepeda motor. Dua orang tersebut menyiram bagian mata Novel dengan air keras.
Polisi sempat menemukan orang yang diduga pelaku, tetapi kemudian memastikan bahwa orang tersebut bukan pelaku karena punya alibi yang kuat. Orang tersebut sedang berada di tempat berbeda saat peristiwa penyerangan berlangsung.