REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemunculan calon tunggal dalam Pilkada 2017 menunjukkan kaderisasi di partai politik masih lemah. Hal tersebut juga menunjukkan partai politik saat ini belum memainkan peranannya dengan baik.
“Mengacu pada dua jalur munculnya calon tunggal dalam Pilkada 2017 yang lalu, saya menilai partai politik saat ini tidak memainkan peranannya dengan baik," ujar Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute Fadel Basrianto di Jakarta, Senin (9/4).
Fadel mengatakan setidaknya terdapat dua penyebab munculnya calon tunggal dalam Pilkada. Pertama, yakni mengksploitasi berbagai macam sumber kekuatan yang dimiliki seperti sumber daya kapital, pengaruh di dalam birokrasi, dan popularitas.
Penyebab pertama ini menjelaskan munculnya calon tunggal di Kabupaten Pati pada Pilkada Serentak 2017. Di Pati kala itu pasangan Haryanto-Saiful Arifin menjadi calon tunggal melawan kotak kosong lantaran pasangan itu secara kapital dan popularitas sudah begitu kuat.
Atas dasar itulah, kata Fadel, mayoritas partai yang ada di DPRD Kabupaten Pati menjatuhkan rekomendasi hanya kepada pasangan tersebut.
Penyebab kedua ialah bertumpu pada mekanisme legal dengan mengeksploitasi kelemahan lawan. Hal ini, menurutnya, seperti yang terjadi pada Pilkada Serentak 2017 di Jayapura.
Meskipun di Jayapura kala itu ada tiga pasangan calon yang mendaftar di KPUD, tetapi ada salah satu partai yang memberikan dukungan ganda kepada dua calon pasangan kandidat kepala daerah. Sehingga secara cepat hal itu dieksploitasi oleh salah satu pasangan untuk menyudahi pertarungan dengan pasangan lainnya.
(Baca Juga: Pilkada di 13 Daerah Dipastikan Calon Tunggal)
Dia menilai partai politik tidak melakukan pengaderan kepemimpinan secara serius. Tidak adanya kandidat lain yang maju disebabkan oleh tidak adanya stok pemimpin yang dimiliki oleh partai untuk diajukan sebagai calon kepala daerah.
"Padahal jika melihat struktur kepartaian, mereka memilki struktur jaringan kepartaian mulai dari pucuk pimpinan daerah hingga ke ranting-ranting," kata dia.
Selain itu, kemunculan dukungan partai secara bersama-sama kepada satu pasangan calon menunjukkan bahwa partai politik telah kehilangan identitasnya sebagai agen petarung. Dia menekankan partai politik seharusnya memainkan peran sebagai wadah yang memiliki ide yang siap dikontestasikan oleh kader-kadernya pada saat pemilu berlangsung.
Namun, jika partai secara beramai-ramai mendukung hanya pada salah satu pasang calon, artinya partai lebih memilih jalur pragmatis daripada mengontestasikan gagasan yang dimilikinya. Terlebih lagi pragmatisme partai politik ini semakin menguat karena masifnya politik transaksional yang terjadi.
"Seperti halnya adanya biaya mahar politik yang harus dikeluarkan oleh kandidat agar partai mau mengusung mereka. Seperti apa yang pernah diungkapkan oleh La Nyalla Mattalitti untuk maju menjadi calon gubernur Jawa Timur, ia harus menyerahkan sejumlah uang kepada partainya," kata Fadel.
Dia mengingatkan jika fenomena calon tunggal ini terus berlanjut dan tren angkanya terus meningkat, publik akan semakin dirugikan. Masyarakat tidak memiliki pilihan kandidat lain yang dapat dipertimbangkan.
Selain itu, kehadiran calon tunggal dapat berpotensi melemahkan fungsi "checks and balances" DPRD terhadap Kepala Daerah. "Maka dari itu, ke depan partai politik harus lebih serius melakukan kaderisasi kepemimpinan di internal mereka," jelas dia.
Baca Juga: Calon Tunggal Naik, Pemilih Pesimistis Gunakan Hak Pilih