REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk melakukan pemeriksaan terhadap nama-nama lain di luar terdakwa Setya Novanto yang terkait dengan dugaan korupsi KTP elektronik (KTP- el). Hal itu sepanjang bukti yang ditemukan memang kuat.
"Kami meminta KPK untuk melakukan cross check saksi yang lain, barangkali di luar itu masih ada saksi-saksi yang lain, termasuk juga bukti-bukti di luar kesaksian pernah ada transfer, ada informasi sejumlah pemberian itu," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho di Jakarta, Sabtu (24/3).
Pada persidangan sebelumnya, Novanto menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung sebagai penerima aliran dana proyek KTP-el. Masing-masing dikatakan menerima 500 ribu dolar AS. Novanto mengaku mengetahui hal itu dari orang terdekat Puan, Made Oka Masagung, yang disebut-sebut menyerahkan uang itu kepada anak dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tersebut.
Menurut Emerson, pernyataan Novanto terkait Puan dan Pramono perlu ditelusuri lebih lanjut. Sebab, pemberian dana berlangsung saat keduanya masih sama-sama menjadi anggota DPR.
Saat itu, Puan menjabat sebagai ketua Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) dan Pramono menjabat wakil ketua DPR. Menurut Emerson, tindak korupsi itu rata karena kalau tidak rata pasti akan ada letupan-letupan kecil.
"Ketika distribusi itu, mereka mencoba membuat semua pihak kecipratan. Maka, tidak bisa begitu saja merujuk kepada argumen bahwa, misal, saya parpol oposisi maka saya tidak menerima," ucap Emerson.
Emerson menjelaskan, kesaksian Novanto merupakan awalan dari keseluruhan kasus korupsi KTP-el. Ia berkata, jika merujuk dakwaan kepada Irman dan Sugiharto, jumlah penerima aliran dana korupsi ada 72 nama, sementara yang diproses oleh KPK baru delapan orang.
"Maka, baru sekitar 10 persen saja dari nama-nama penerima aliran dana yang diproses," ungkap Emerson.