Jumat 23 Mar 2018 16:38 WIB

Politikus PDIP: Setnov Seperti Orang Mabuk dan Stres

Politikus PDIP menilai pernyataan Setnov di ruang sidang tidak memiliki nilai.

Rep: Ali Mansur/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto  mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/3).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Erwin Moeslimin Singaruju mengkritik pengakuan mantan ketua umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Erwin menyebut penyataan Setnov di ruang sidang itu tidak memiliki nilai kesaksian.

Bahkan, dikatakannya, pernyataan Setnov seperti orang mabuk. Sentov mengaku ada aliran dana proyek KTP-el ke dua elite PDI Perjuangan, Puan Maharan dan Pramono Anung. Kedua politikus PDI Perjuangan itu diklaim oleh Setnov telah menerima uang masing-masing 500 ribu dolar AS. Erwin mengatakan, pengakuan Setnov tidak perlu ditanggapi karena tidak memiliki nilai kesaksian yang bisa dijadikan dasar.

"Pernyataan Setnov di pengadilan seperti orang mabuk, kalap dan stres, dan tidak bernilai kesaksian sama sekali," kata anggota Komisi VIII DPR RI itu menegaskan, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (23/3).

Erwin mengatakan, salah satu alasan, pernyataan Setnov tidak bisa bernilai kesaksian karena mengutip kata orang lain, bukan dialami, dilihat, dan didengar sendiri oleh Setnov. Meskipun penyataan Setnov di pengadilan dilindungi oleh undang-undang, seharusnya pengacara, hakim, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mengingatkan Setnov.

"Mestinya sistem dalam peradilan kita, baik jaksa, pengacara, hakim bisa mengingatkan itu. Itu bisa saja didesain untuk membunuh karakter siapa pun orang itu. Saya juga tidak bisa menduga seperti itu, tapi itulah kira-kira imbauan saya," ujarnya.

Erwin menambahkan, apalagi pengakuan Setnov tersebut menyangkut kehormatan terhadap martabat orang. Sehingga, itu tidak boleh asal bunyi alias asbun. Jika ada pembiaran seperti itu, masyarakat akan menduga pengakuannya didesain atau manuver dengan menarik orang sebanyak-banyaknya. Padahal sudah dibantah oleh Pramono Anung.

"Lebih jauh pernyataan Setnov itu, bisa saja itu manuver yang sengaja di-setting untuk menjatuhkan martabat dan kehormatan yang difitnahnnya," ungkapnya.

Menurut Erwin, tidak menutup kemungkinan ini manuver dari Setnov, yang sebelummya ingin sekali menjadi justice collaborator. Dia meminta agar Setnov tidak menjadikan pernyataannya sebagai alat bargaining. Karena, kata Erwin, hal itu akan merusak sistem peradilan itu sendiri. "Meski tersangka punya hak berbicara tapi seharusnya hakim maupun pengacara bisa mengingatkan agar tidak menyeret orang yang tidak terkait," tutur Erwin.

Oleh karena itu, Erwin mengimbau kepada terdakwa, KPK, dan pengacaranya untuk menjalankan proses hukum pidana dengan menegakkan prinsip-prinsip hukum acara dengan benar dan menghormati martabat manusia. Kemudian, jangan membiarkan terdakwa bicara apa saja dalam persidangan tanpa bukti yang cukup. Apalagi di ruang pengadilan yang mulia itu.

"Hakim, jaksa, dan pengacara bisa menghentikannya, bahkan bisa minta pertanggungjawaban apa yang dikatakan oleh terdakwa tersebut," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement