Rabu 21 Mar 2018 05:03 WIB

Marhaen, Bung Karno: Siapa yang Menguasai Tanah Indonesia?

Sejak zaman kolonial sampai sekarang, soal tanah belum terselesaikan.

Bung Karno melihat patung Marhaen.
Foto: arsip nasional
Bung Karno melihat patung Marhaen.

Oleh: Muhammad Subarkah*

Siapakah  sosok rakyat kecil yang dijadikan ikon kaum proletar oleh Bung Karno? Jawabnya tentu saja tak lain dan tak bukan adalah orang dari pinggiran Bandung yang bernama Marhaen. Sosok ini melambangkan kepapaan hidup seorang anak manusia.

Namun, sebelum membahas lebiih dalam, mari ikut alur kisah si Marhaen yang ada dalam biografi Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adam. Ceritanya, Sukarno muda kala itu, sekitar tahun 1920-1930-an dengan naik sepeda dari rumahnya berkunjung ke Bandung Selatan. Di sana dia menemui sosok orang Sunda. Keduanya lalu berbincang dengan akrab. Sukarno (akrab dipanggil Bung Karno), yang berasal dari Jawa, kala itu sudah mampu berbicara dengan bahasa Sunda yang fasih,

"Saha nu kagungan ieu sadayana nu dipidamel ayeuna ku aranjeun," tanya Bung Karno, yang artinya "Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?"

"Saya, juragan," jawab petani itu.

Lalu Bung Karno bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?"

"O, tidak juragan. Saya sendiri yang punya."

"Tanah ini kau beli?"

"Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun."

Mendengar jawaban itu Bung Karno terdiam. Melihat tamunya diam, si petani pun kembali mencangkul. Namun, hanya sesaat. Sukarno yang gandrung baca buku lalu bertanya dengan maksud lain. Dia bertanya dengan bertubi-tubi kepada orang Sunda itu

"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?"

Petani itu kembali menghentikan kegiatan, dan menjawab, "Ya, gan."

"Dan cangkulnya?"

"Ya, gan."

"Bajak?"

"Saya punya, gan."

"Untuk siapa hasil yang kau kerjakan."

"Untuk saya, gan."

"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"

Petani mengangkat bahu mengernyitkan dahi sembari berpikir keras,

"Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?"

"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?"

"Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."

"Kau mempekerjakan orang lain?"

"Tidak, gan. Saya tidak dapat membayarnya."

"Apakah engkau pernah memburuh?"

"Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."

Setelah bertanya seperti itu, kemudian Bung Karno bertanya sembari menunjuk sebuah gubuk kecil yang tak jauh dari tempat itu, "Siapa yang punya rumah itu?"

"Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."

"Jadi, kalau begitu," kata Bung Karno menyaring pikiran-pikiranya sendiri, "semua ini engkau punya?"

"Ya, gan."

Siapa namamu?"

"Marhaen, juragan...!"

Mendengar dia menyebut nama itu, Bung Karno terdiam. Baginya nama itu memang nama biasa khas orang Sunda. Namanya tak beda dengan nama Jones atau Smith bila di Amerika. Namun, bagi Sukarno nama itu adalah 'kilatan ilham' alias sebuah nama istimewa.

"Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu," pikir Bung Karno. Sejak itu, Bung Karno menamakan rakyatnya sebagai rakyat Marhaen. Bahkan, idiologinya disebut ideologi kaum papa, kaum proletar, dan pada kemudian hari dikenal sebagai nama 'Marhaenisme'.

Saking terkenalnya banyak nama orang Indonesia kemudian, tak peduli lelaki atau perempuan, dengan bangga menabalkan nama dirinya dengan mengambil kata marhaen.

photo
Contoh nama Marhaen: Rieke Pithaloka (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan saat keluarga bayi bernama Ryuji Marhaenis Kaizan mengadu kepada DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (6/2). (Republika/Agung Supriyanto).

                                       

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement