Rabu 21 Mar 2018 05:03 WIB

Marhaen, Bung Karno: Siapa yang Menguasai Tanah Indonesia?

Sejak zaman kolonial sampai sekarang, soal tanah belum terselesaikan.

Bung Karno melihat patung Marhaen.
Foto:
Seorang bocah di Jakarta tahun 1947.

Namun, sayangnya, pada masa setelah Sukarno jatuh dari kekuasaan, lahan tanah di banyak wilayah Indoneisa itu perlahan-lahan berubah kepemilikan. Kekuatan kapitalis global mulai masuk dan menggeser sejengkal demi sejengkal penguasaan tanah. Rakyat yang dahulu menguasai lahan hingga 'hutan adatnya' kemudian tinggal gigit jari.

Petani secara perlahan menjual tanahnya untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarganya. Pada masa kini malah kemudian muncul istilah dari kalangan rakyat petani di Banten yang katanya mereka sudah 'makmur' dengan cara memelesetkan kata makmur bahwa ia hanya tinggal punya 'rumah dan sumur'. Lahannya habis menjadi lahan pabrik dan dikuasi orang lain, bahkan asing.

Maka, catatan dan fakta kemudian menyedihkan. Banyak orang mulai mempersoalkannya, dari orang biasa hingga tokoh terpelajar. Mereka menyatakan penguasaan tanah di Indonesia sudah menjadi semacam bom waktu.

Ketua Umum PBB Prof DR Yusril Uhza Mahendra beberapa waktu silam dalam forum diskusi ILC di TV One secara terbuka mengatakan kondisinya sudah berbahaya. Dia mengatakan, penguasaan tanah di Indonesia sudah seperti ketika dulu melakukan penelitian di Pakistan, yakni ada segelintir dan sekelompok orang menguasai sebagagian besar lahan. Ini telah membuat negara di Pakistan kelimpungan dan tidak bisa bergerak.

photo
Kepala Suku Maya, Adam Gaman bersama Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra di Raja Ampat, Ahad (11/3).

Sama halnya dengan Yusril yang juga mantan menteri sekretaris negara itu, peneliti dan pengamat ekonomi dari the Institute For Global Justice (IGJ), Salamudin Daeng, bahkan mengungkapkan bahwa kepemilikan lahan secara besar-besaran ini dilindungi Undang-Undang No 25 Tahun 2007. Dalam sebuah laman di media massa daring, Salamudin mengatakan, sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun. Ditambahkannya, hingga kini 175 juta hektare atau setara 93 persen luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta/asing.

Salamudin melanjutkan, ketimpangan peruntukan dan penggunaan tanah meliputi masalah perubahan fungsi tanah yang berkembang dengan sangat cepat, sebagai akibat dari pembangunan yang bersifat sektoral. Masalah alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian berlangsung cepat.

Modernisasi yang hampir selalu ditandai dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya menyebabkan makin tergusurnya area-area persawahan di Indonesia. Tanah sudah menjadi barang komoditas yang menguntungkan para pemilik modal.

"Berarti ada segelintir elite, yaitu 0,2 persen penduduk, menguasai 56 persen aset nasional dalam bentuk kepemilikan tanah," katanya di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, lembaga penelitian seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga sudah lama menunjukkan data mengenai ketimpangan agraria di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian KPA, sekitar 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara.

Dengan bahasa yang lebih mudah, kini sebanyak dua persen penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset produktif nasional. Dari 56 persen aset produktif nasional tersebut, 87 persen di antaranya berupa tanah. Menurut Badan Pertanahan Nasional, ada sekitar 56 persen aset nasional yang dikuasai oleh dua persen saja penduduk Indonesia. Sebanyak 87 persen dari 56 persen aset nasional itu berupa tanah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement