REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan pemerintah, dalam hal ini Menkopolhukam Wiranto agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunda pengumuman calon kepala daerah (cakada) bermasalah dianggap berlawanan dengan upaya menjadikan pilkada sebagai mekanisme penciptaan pemerintahan yang bersih. Usulan tersebut pun bisa dimaknai sebagai upaya tak langsung mengintervensi proses hukum.
"Pernyataan tersebut sesungguhnya berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi atau pilkada sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih," ujar Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan melalui pesan singkat, Selasa (13/3).
Sebab, kata dia, sesungguhnya pilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka untuk lima tahun yang akan datang. Jika kontestan pilkada itu merupakan orang yang bermasalah seperti terindikasi korupsi, seharusnya proses hukum bisa membantu masyarakat agar mereka tidak salah memilih pemimpin daerah mereka.
"Jika pemerintah berada dalam garis yang jelas dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi, maka sesungguhnya pernyataan seperti ini harus dihindari," tuturnya.
Menurutnya lagi, pernyataan dan usulan tersebut bisa dimaknai sebagai upaya secara tidak langsung untuk mengintervensi proses hukum. Seharusnya, pemerintah bisa membedakan wilayah proses politik dan wilayah proses hukum yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun.
Ade mengatakan, pemerintah juga seharusnya tidak perlu ragu, proses hukum yang dijalankan KPK tidak akan menghentikan proses politik. Pada faktanya, lanjut dia, penetapan tersangka oleh KPK terhadap lima cakada 2018 tak mengganggu tahapan pilkada yang akan dilaksanakan di daerah tersebut.
"Tidak menghentikan atau mengganggu tahapan pilkada yang akan dilaksanakan di daerah tersebut dan juga tidak menciptakan gangguan keamanan," katanya.