REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perlu memiliki kewenangan dalam melakukan eksekusi agar bisa memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran administrasi. Untuk bisa memberikan rekomendasi yang mengikat dan sanksi yang kuat, Ombudsman perlu diperkuat oleh peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden (Perpres).
"Paling tidak, PP atau Perpres, maka itu bisa mengikat bagi kepala daerah atau kementerian, lembaga yang tidak menjalankan rekomendasi," ujar Wakil Ketua Ombudsman RI Lely Pelitasari Soebekty kepada Republika usai diskusi bertema ’18 Tahun Ombudsman Bisa Apa?’ di Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu (10/3).
Dia menerangkan penambahan eksekusi ini bermula dari usulan DPR yang ingin menambah kewenangan eksekusi Ombudsman. Dia menerangkan selama ini, Ombudsman bisa memberi rekomendasi.
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan rekomendasi Ombudsman bersifat mengikat terhadap kepala daerah yang tidak menjalankan rekomendasi. “Akan tetapi, apa bentuk sanksinya? Itu yang belum diatur,” kata Lely.
Karena itu, dia menambahkan, DPR mengusulkan kewenangan eksekusi ditambahkan dengan cara merevisi UU 37 tahun 2008 tentang Ombudsman. “Bagaimana sanksi bagi yang tidak melaksanakan rekomendasi itu dimunculkan di dalam UU atau Revisi UU (Nomor) 37? Itu yang diinginkan oleh DPR," kata Lely.
Ia mengaku, Ombudsman setuju ada kewenangan memberikan sanksi. Kendati demikian, dia berpendapat, sanksi tidak harus ada di dalam UU. Menurut dia sanksi bisa melalui sebuah aturan, misalnya peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang mengatur kepala daerah jika tidak melaksanakan rekomendasi dari Ombudsman.
Menurutnya, sanksi yang diberikan bisa sanksi administratif dan sanksi anggaran. Misalnya pemerintah daerah yang melanggar rekomendasi dari Ombudsman tahun depan anggarannya dikurangi.
Dia berharap sanksi-sanksi yang sifatnya administratif bisa ditampung dalam aturan yang cukup kuat. Sebab jika hanya peraturan Ombudsman, tidak akan cukup kuat mengikat pemerintah daerah.
Ombudsman juga membutuhkan PP atau Perpres sebagai produk turunan dari UU 37 tahun 2008. Dia menerangkan kebutuhan aturan turunan ini, misalnya, terkait dengan ajudikasi.
Ia menerangkan, ajudikasi khusus yang diatur dalam UU Nomor 37 adalah kewenangan untuk pemerintah mengganti rugi. Artinya, Ombudsman memiliki kewenangan untuk menetapkan ganti rugi apabila masyarakat atau pelapor mengalami kerugian karena kebijakan pemerintah.
Di dalam UU menyebutkan ajudikasi khusus, tetapi tidak ada aturan turunan yang menjelaskan hal tersebut. "Jadi itu yang mungkin agak menyulitkan di dalam prosesnya," ujarnya.
Lely melanjutkan dilihat sejarahnya, Ombudsman di seluruh dunia merupakan lembaga non-litigasi atau jalur penyelesaian di luar pengadilan. Karena itu, sebetulnya tidak ada kewenangan untuk sampai seperti peradilan.
Lely menyampaikan, saat ini Ombudsman sedang membahas hal tersebut dan masih dalam bentuk draf. Sekarang ini, dia menerangkan, baru memasuki pembahasan awal dengan Dirjen Perundang-undangan di Kementerian Hukum dan HAM.
“Kalau yang sanksi administratif targetnya tahun ini bisa dilaksanakan. Naskah akademiknya sudah dalam proses, tetapi untuk masuk program legislasi nasional (prolegnas) harus antre,” kata dia.