REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang peninjauan kembali (PK) menyatakan, putusan pengadilan terhadap Buni Yani memiliki delik (perbuatan melanggar hukum) yang berbeda dengan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Seperti diketahui, putusan hakim terhadap Buni Yani dijadikan dasar oleh Ahok untuk mengajukan PK.
Jaksa Ardito Muwardi mengatakan, putusan terhadap Buni Yani yaitu dinyatakan bersalah terkait tindak pidana dengan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di mana Buni Yani divonis satu tahun enam bulan penjara karena menyebar video pidato Ahok saat berpidato di Kepulauan Seribu, Jakarta.
Sementara, Ahok divonis bersalah terkait kasus penistaan agama. Di mana, Ahok divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakarta Utara atas pernyataannya mengenai Surat Al-Maidah Ayat 51.
"Apa yang jadi dasar dalam pembuktian itu tidak ada sangkut pautnya," kata Ardito di Gedung Pengedilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Senin (26/2). "Jadi delik berbeda sama sekali antara Ahok dan Buni Yani," tambahnya.
Sebelumnya, sidang perdana PK sudah digelar di PN Jakarta Utara Senin (26/2) ini. Adapun, Ahok kini masih mendekam di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, untuk menjalani hukuman atas kasus penistaan agama.
Kuasa Hukum Ahok, Josefina Agatha Syukur, enggan membeberkan lebih detail apa alasan pihaknya mengajukan PK. Namun, selain alasan Buni Yani, santer beredar alasan mereka ajukan PK lantaran kekhilafan dari majelis hakim dalam memutus kasus Ahok. Hal tersebut terkait dengan penggunaan Pasal 263 Ayat 2 KUHAP.