Senin 26 Feb 2018 12:19 WIB

Mengapa Ahok Ajukan PK Atas Vonis Kasus Penistaan Agama?

Ada dugaan majelis hakim khilaf dalam penggunaan pasal penuntutan kepada Ahok.

Rep: Umar Mukhtar, Rahma Sulistya/ Red: Elba Damhuri
Para pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (26/2).
Foto: Republika/Rahma Sulistya
Para pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (26/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari lalu beredar salinan berkas yang diduga memori peninjauan kembali (PK) perkara pidana penistaan agama atas nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kepada Mahkamah Agung (MA). Berkas diserahkan melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan diteruskan ke PN Jakarta Utara. Dalam berkas itu, tercantum nama Law Firm Fifi Lety Indra dan Partners.

Dalam memori PK yang diajukan, keputusan hakim terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, menjadi pembanding atas keputusan hakim kepada Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada 14 November 2017, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan penjara terhadap terdakwa kasus dugaan pelanggaran Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Buni Yani.

Buni Yani dinilai bersalah menyebarkan video mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat berpidato di Kepulauan Seribu, Jakarta. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta Buni Yani divonis dua tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta subsider tiga bulan.

Buni Yani didakwa dengan pasal 32 ayat 1 juncto pasal 48 ayat 1 tentang orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

Ahok divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas pernyataannya soal Surat Al-Maidah Ayat 51. Ahok pun saat itu tidak mengajukan banding dan mulai menjalani hukuman penjara di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, sejak Mei 2017. Setelah sembilan bulan lewat, Ahok baru mengajukan PK.

Sidang perdana PK sudah digelar di PN Jakarta Utara Senin (26/2) ini. Basuki kini masih mendekam di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, untuk menjalani hukuman atas kasus penistaan agama.

Kuasa Hukum Ahok, Josefina Agatha Syukur, enggan membeberkan lebih detail apa alasan pihaknya mengajukan PK. Namun, selain alasan Buni Yani, santer beredar alasan mereka ajukan PK lantaran kekhilafan dari Majelis Hakim versi tim Ahok. Ini terkait dengan penggunaan Pasal 263 Ayat 2 KUHAP.

"Maaf kami tidak melayani wawancara soal PK, nanti saja didengar alasan kami pas sidang Senin," ujar Josefina, Jumat (23/2).

Pengamat hukum Universitas al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, berpendapat Ahok berpeluang bebas jika PK tersebut dikabulkan oleh hakim. "Kalau ditolak, kemungkinannya hukumannya tetap seperti sebelumnya. Jika dikabulkan bisa dibebaskan atau dikurangi hukumannya," kata Suparji, Senin (26/2).

Suparji menilai pengajuan PK Ahok pada tingkat satu sudah berkekuatan hukum tetap. Namun di sisi lain pihak Ahok juga telah menemukan bukti baru yang digunakan untuk pengajuan PK.

Vonis Buni Yani tak bisa jadi bukti baru

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakir menyatakan, putusan hakim terhadap Buni Yani tidak bisa dijadikan sebagai bukti baru (novum) oleh Ahok. Menurut dia, perkara keduanya berbeda.

Ahok mesti membawa bukti baru dalam persidangan PK atas perkara kasus penistaan agama. Syarat pengajuan bukti baru itu yaitu bukti harus berkualitas. Bukti yang berkualitas, kata Muzakir, merupakan bukti yang bisa mengubah putusan sebelumya.

Karena itu, putusan Buni Yani tidak bisa dijadikan bukti baru karena tidak dapat mengubah putusan kasus Ahok. Perkara atas perbuatan Buni Yani, lanjutnya, berbeda dengan perkara atas perbuatan yang dilakukan Ahok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement