REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani berharap Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Hal ini jika Presiden tidak menyetujui poin-poin pasal yang ada dalam Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
"PPP berharap Presiden keluarkan Perppu untuk mengganti ketentuan ketentuan yang dianggap kontroversial tersebut, setelah itu DPR bisa merevisi kembali dengan membuka ruang konsultasi publik seluas-nya secara bijak," ujar Arsul saat dihubungi pada Rabu (21/2).
Sebab menurutnya, sikap presiden yang tak setuju dengan UU MD3 perubahan dengan tidak menandatangani UU MD3 tidak menghalangi pemberlakuan UU tersebut. Hal ini sesuai peraturan perundangan, bahwa UU tetap berlaku meski tidak ditandatangani presiden terhitung 30 hari setelah UU tersebut disetujui DPR dan Pemerintah.
"Persoalan utamanya /kan bukan soal tanda tangan atau tidaknya Presiden. Yang jadi /concern masyarakat luas /kan seperti yang disampaikan PPP, adanya pasal-pasal yang rumusan normanya tidak pas," ujar Arsul.
Sekretaris Jenderal PPP mengatakan pasal-pasal yang tidak pas tersebut juga belum dikonsultasikan kepada publik. Padahal warga masyarakat berpotensi terkena dampaknya seperti pasal 73, pasal 122 huruf k dan pasal 245 UU MD3. Begitu pun adanya pasal penambahan pimpinan MPR yang menurutnya melangar hak konstitusional anggota DPD dan juga menabrak putusan Mahkamah Konstitusi.
Saat ditanyai adakah kegentingan memaksa yang membuat Perppu MD3 perlu dikeluarkan oleh Presiden, Arsul menyerahkan penilaian itu kepada Presiden. Namun kata dia, Presiden dapat terlebih dahulu meminta pendapat para ahli atas respons masyarkaat dengan adanya UU MD3 tersebut.
"Soal Perppu itu kan tafsir kegentingan memaksanya selama ini kan menjadi tafsir subyektifnya Presiden. /Nah dengan reaksi masyarakat seperti itu presiden bisa meminta pendapat elemen-elemen masyarakat terlebih dahulu dan para ahli akademisi Hukum tata negara," kata Arsul.
Meskipun demikian, ia juga mengatakan peluang dapat dibatalkannya pasal yang dianggap kontroversial melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau uji materi di MK /kan prosesnya akan cukup lama. Tapi saya melihat adanya peluang UU ini dikoreksi oleh MK," kata Arsul.
Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan menandatangani revisi UU MD3 yang sudah disepakati rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018 lalu. Hal ini karena ada beberapa pasal dalam UU MD3 yang dinilai kontroversial.
"Jadi Presiden cukup kaget juga, makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan mendandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly di lingkungan istana kepresidenan.