REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah, tidak bisa dipisahkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di berbagai lini pemberitaan. Padahal Fahri bukanlah penyidik apalagi pimpinan KPK, tapi dialah garda terdepan dalam memberikan kritik pedas terhadap lembaga antirasuah tersebut.
Bahkan, saking seringnya melontarkan kritik pedas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu dianggap memusuhi lembaga yang telah menahan koleganya, Setya Novanto, dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik. Namun Fahri hanya berkelakar menanggapi anggapan tersebut. "Hahaha," tawa Fahri saat ditanya melalui pesan singkat, Rabu (15/2) malam.
Kritik terhadap KPK, kata Fahri, bukanlah wujud ketidaksukaan dirinya terhadap Agus Rahardjo dan kawan-kawan. Tapi, ini merupakan bentuk kecintaan dirinya terhadap pemberantasan korupsi.
Justru, menurut Fahri, KPK harus bersyukur, sebab kritiknya mamperpanjang umur mereka. "Mereka harus bersyukur karena saya yang memperpanjang umur mereka. Kalau saya tidak kritik, KPK sudah masuk jurang," tutur mantan aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) itu.
Fahri menambahkan, kalau kritiknya tidak membuat waspada, maka tidak menutup kemungkinan KPK akan masuk jurang. Sehingga jurang yang besar tersebut dapat membuat riwayat KPK tamat.
Oleh karena itu Fahri mengaku tidak takut berseberangan dengan "mainstream" yang kerap membela dan memuji KPK. Terbukti, sejak 2006 mengkritik KPK elektabilitas dirinya tidak pernah turun.
"Saya kritik KPK sejak 2006 dan elektabilitas saya naik terus," ucap Fahri dengan percaya diri.
Salah satu kritik pedas terhadap dirinya adalah mengenai kinerja KPK yang kerap kehilangan taji jika berhadapan dengan kasus yang berafiliasi dengan pemodal besar. Di antaranya adalah kasus-kasus besar yang hingga saat ini masih mangkrak dan hilang dari peredaran. "Kasus besar hilang, Century, reklamasi, Sumber Waras dan lainnya," tutup Fahri.