REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabar kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab ke Indonesia disikapi beragam oleh banyak pihak. Sekelompok umat Islam pun telah membentuk susunan panitia penyambutan kepulangan Habib Rizieq ke tanah air.
Menanggapi beragamnya animo publik jelang kepulangan Habib Rizieq ini politisi PDI Perjuangan, Erwin Moeslimin Singajuru menilai, tidak perlu lagi konfrontatif dengan Habib Rizieq. Ada baiknya pemerintah dan PDIP sendiri menurutnya merangkul Habib Rizieq untuk menjaga suasana politik yang tidak semakin ruwet.
"Pemerintah jangan konfrontatiflah, dirangkul saja kenapa. Toh dia juga tidak buat makar seperti yang dituduhkan, sebagaimana tuduhan 212 akan membuat kerusuhan juga tidak terbukti hingga sekarang," kata Erwin kepada Republika.co.id, Kamis (15/2).
Kalau yang dipersoalkan soal politik identitas, ia menilai, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab, politik identitas, sebenarnya juga terjadi di pemilu era presiden Soekarno. Setelah pemilu dahulu pun, ungkap dia, masyarakat tetap bersatu tidak kemudian terbawa pada soal SARA.
"Jadi politik identitas ini bukan sesuatu yang baru," terangnya.
Diakui dia imbauan merangkul kelompok Habib Rizieq ini memang berbeda dengan sebagian besar suara di PDIP. Hal ini, lanjutnya, adalah pribadi usulannya kepada pimpinan di PDIP.
Alasan Erwin perlunya PDIP, yang juga partai pemerintah merangkul Habib Rizieq, demi menghentikan tuduhan-tuduhan yang tidak benar bahwa PDIP memusuhi umat Islam.
Bagaimanapun menurutnya ada pihak-pihak yang senang dan memanfaatkan isu PDIP yang seolah memusuhi umat Islam ini, demi kepentingan politik. Padahal yang terjadi sebenarnya tidak pernah begitu.
"Suasana seolah PDIP memusuhi umat Islam ini sengaja diciptakan, di antaranya dengan mengkonfrontasikan PDIP dengan Habib Rizieq," ungkap Anggota DPR Fraksi PDIP ini.
Kepada presiden Jokowi, Erwin juga meminta pemerintah menghentikan konfrontasi yang tidak perlu terhadap pemimpin FPI ini. Bila memang ada kasus yang sedang disidik aparat, biarlah berjalan secara wajar.
Sebab, menurut dia, semakin pemerintah memilih konfrontatif maka akan semakin berhadapan dengan sebagian kelompok umat Islam. Isu pemerintah yang seolah anti Islam ini, kata dia, akan mudah menjadi alat politik oleh pihak-pihak yang tidak ingin kondisi politik di Indonesia stabil.
"Jalan tidak konfrontatif ini pernah dilakukan oleh Taufik Kiemas, mari belajar untuk merangkul," ujar Erwin.