REPUBLIKA.CO.ID,REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Polemik terkait dengan dimasukkannya pasal 122 huruf k dalam UU MD3 dinilai sebagai ironi di era demokrasi. Pasal ini berpeluang menjadi pasal karet untuk membungkam kritikan dengan delik sebagai tindak pidana.
Direktur Intrans, Andi Saiful Haq mengatakan ada beberapa persoalan mendasar, mengapa pasal ini harus kita tolak. Pertama, kata Saiful Haq, pasal ini tidak relevan lagi di jaman moderen dan masa demokrasi.
Menurutnya, menghina adalah delik yang paling sering digunakan oleh raja-raja atau diktator jaman dulu untuk menopang kewibawaan dan agar orang banyak tidak banyak bertanya tentang perilaku mereka yang tiran dan korup. “Sementara di era demokrasi, kehormatan sebuah kekuasaan itu diletakkan pada kuasa rakyat. Rakyat yang memutuskan kapan, di mana dan pada siapa kehormatan itu diletakkan,” kata Saiful Haq dalam siaran persnya kepada Republika.co.id, Rabu (14/2).
Kedua, lanjut Saiful Haq, pasal yang sama pernah digunakan Pemerintahan Hindia-Belanda untuk membungkam perlawanan para founding fathers, salah satunya Soekarno-Hatta. Ketiga, anggota DPR RI itu sudah terlalu banyak fasilitas, bahkan mereka memiliki hak imunitas dan kekebalan diplomatik. “Kalaupun ada yang harus mereka perjuangkan sekarang, itu adalah kehormatan mereka sendiri di sisa masa jabatan,” ujar Saiful Haq.
Menurut Saiful, merujuk pada arti kata “kehormatan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut bermakna media di mana rasa hormat diletakkan, sementara kata “menghina” bermakna memandang rendah (hina atau tidak penting). Pasal 122 (k) UU MD3 itu tampaknya sekarang berbalik menuding ke wajah anggota DPR hari ini. “Tuan-tuan, cukup terhormatkah anda hari ini?, masih ingatkah tuan pada janji menjaga kehormatan sebagai wakil rakyat di parlemen?” tanya Saiful Haq.
Menurutnya, jika ada yang pertama kali harus dijerat dengan pasal 122 (k) adalah sekitar 50% anggota DPR yang pada masa sidang I tahun 2015 hingga masa sidang IV tahun 2017 tingkat kehadirannya dibawah 50%. “Separuhnya lagi tidak mungkin lepas dari jeratan tindak pidana “merendahkan martabat” karena hanya mampu mencapai realisasi sekitar 20% Rancangan UU,” kata Saiful Haq.
Saiful Haq menegaskan, mangkir dari tugas adalah tindakan tidak terhormat, rapor merah di tengah fasilitas berlimpah adalah penghinaan pada sumpah jabatan. Menurutnya, salah satu tindakan tidak terhormat adalah ketika seorang manusia tidak mengenal rasa malu. “Bagaimana DPR bisa mengelak dari rasa malu, ketika seluruh lembaga survey ternama di tahun 2017 merilis bahwa DPR RI adalah lembaga negara yang paling tidak dipercayai oleh rakyat yang diwakilinya. Jauh di bawah TNI, KPK, lembaga kepresidenan, dan Polri. Bahkan di bawah pengadilan dan kejaksaan,” ungkap Saiful Haq.
Saiful Haq melanjutkan, jika perilaku tidak melaksanakan tugas, tidak menjaga amanah dan tidak dipercaya, tidak lagi dianggap sebagai tindakan merendahkan kehormatan dan martabat anggota DPR dan Lembaga DPR, maka MK harus membatalkan Pasal 122 (k) UU MD3 dengan dua argumentasi.
Pertama, kata Saiful, pasal 122 (k) tersebut kehilangan unsur materilnya, yakni bahwa pelanggaran itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Kedua, lanjut Saiful, karena delik tersebut sudah diatur dalam pasal 50 dan 51 KUHP, yang menyatakan bahwa sebuah tindakan melawan hukum tidak selamanya adalah tindak pidana.
“Karena tindakan menghina martabat anggota DPR, adalah bisa digolongkan sebagai tindakan formil warga negara yang sudah dijamin dalam konstitusi dan juga tindakan bersifat materil karena memang dirasakan mayoritas warga negara,” kata Saiful Haq.