Selasa 13 Feb 2018 12:43 WIB

Anies, Prabowo, dan Jawa: Perspektif Kebangsaan ke Depan

Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto memberikan pidato politik usai Pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno menjadi Gubernur-Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta pada penetapan calon terpilih Pilkada DKI Jakarta oleh KPUD di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumaat (5/5
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto memberikan pidato politik usai Pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno menjadi Gubernur-Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta pada penetapan calon terpilih Pilkada DKI Jakarta oleh KPUD di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumaat (5/5

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Penggagas Sabang Merauke Circle

Seorang pimpinan Partai Gerindra, kemarin lalu, mengirimkan japri ke saya sebuah berita situs online nasional yang memberikan judul "Presiden harus orang Jawa", di mana disitu Prabowo, sambil menyinggung nama yang ada "no" nya,  yang bisa jadi presiden hanya orang Jawa, sedang Fadli Zon, tanpa nama Jawa, tidak mungkin jadi presiden.

Dalam pidato ulang tahun ke-10 Gerindra, yang dapat diakses di Youtube, urusan nama Jawa ini berkali kali diulangi Prabowo, sehingga mengesankan bahwa urusan orang Jawa sebagai syarat bagi capres 2019 menjadi serius bagi Partai Gerindra saat ini. Bukan lagi sebuah candaan pidato.

Soal Jawa sebagai syarat presiden itu, kemudian diberitakan berbagai media nasional. Dan itu tentunya perlu menjadi perhatian kita. Mengapa perlu diperhatikan? Pertama, soal Jawa vs non-Jawa ini adalah polemik lama bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan.

Sejarah mencatat konsep Jawa dalam gerakan kebangsaan kita sangat kental di awal-awal pergerakan. Dr Soetomo, pendiri Budi Utomo, ketika diskusi di Studie Club di Soerabaja, tahun 20-an, bahkan pernah mengejek Haji Agus Salim bukan "orang kita".

Namun, semakin matang gerakan politik kebangsaan, dan mulai digulirkannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa alternatif selain Jawa, saat itu, perlahan-lahan ke Indonesiaan semakin menguat. Robert Elson, mengutip Bernard Dahm, dalam /The Idea of Indonesia/, 2008, mengatakan bahwa selain kematangan para tokoh-tokoh perjuangan bangsa kita, ada faktor lain, yakni ke Indonesiaan. Itu sekaligus sebagai pilihan dari alternatif lain yakni politik yang berbasiskan agama Islam.

Adanya bangsa Indonesia dan negara Indonesia, sejak perjuangan, Sumpah Pemuda, hingga proklamasi kemerdekaan, tentunya merupakan sebuah keniscayaan adanya bangsa baru, yang bertumpu pada dua hal yakni bangsa ini mempunyai historis sebagai sebuah bangsa yang satu di masa lalu. Contoh baiknya terwujud dalam himpunan kerajaan di bawah Sriwijaya maupun Majapahit. Kedua, Indonesia merupakan sebuah cita cita besar yang akan diwujudkan dalam suasana Indonesia merdeka. Indonesia Raya.

Tumpuan pertama yang bersifat historis ini, merupakan pernyataan bahwa suku suku bangsa kita adalah inti dari keberadaan Indonesia. Antony D Smith, sosiolog Inggris, misalnya  mengetengahkan pandangannya, bahwa inti dari sebuah bangsa seperti suku suku pembentuk bangsa itu, merupakan syarat adanya sebuah bangsa.

Para pendiri bangsa kita juga meyakini hal di atas, sehingga mereka tidak mencantumkan harus orang Jawa sebagai syarat Presiden. Mereka malah mencantumkan kata Pribumi atau Indonesia Asli sebagai gantinya. Dengan demikian, kita melihat bahwa bukan orang Jawa, seperti Professor Habibie, akhirnya pernah menjadi presiden di Indonesia.

Pertanyaan kita tentang mengapa Prabowo masih mengangkat isu presiden harus orang Jawa masih membutuhkan jawaban. Apalagi di acara sakral partainya, sebuah partai besar. Bukankah Prabowo adalah mantan tentara yang keindonesiannya seharusnya 100 persen?

Perhatian kita selanjutnya, atau yang kedua, adalah pernyataan Prabowo tersebut disampaikan dihadapan Anies Baswedan. Anies Baswedan, meski belum pernah di survei sebagai calon presiden, namun potensinya menghadapi Jokowi sudah dirasakan kaum oposisi dan masyarakat luas.

Prabowo dalam konteks ini bisa dimaknai ingin membatasi ruang gerak Anies Baswedan, agar tidak masuk ke gelanggang yang hanya boleh dimiliki orang Jawa, calon presiden.

Sebagai politisi, sikap Prabowo tentunya dapat dimaklumi.  Prabowo tidak ingin (merasa) dikhianati Anies Baswedan, sebagaimana pernah dipersepsikan publik dia mengalaminya di masa sebelumnya, ketika mendukung Jokowi dan Ahok. Namun, sebagai negarawan dan cucu pendiri republik ini, Prabowo kurang sensitif mengulas lagi soal Jawa vs non-Jawa yang sudah selesai di masa lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement