REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Usulan pungutan zakat yang langsung dipotong dari gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih dibahas di Kementerian Agama. Banyak hal yang masih harus diperjelas sebelum kebijakan itu benar-benar diterapkan.
Salah satunya soal status pajak ASN jika gajinya sudah dikenakan potongan zakat. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, M Cholil Nafis mengusulkan agar zakat itu sudah sekaligus pajak. Agar kewajiban ASN tidak tumpang tindih.
"Zakat yang dibayarkan dan dikelola oleh Baznas atau Lazis sebesar 2,5 persen dianggap sebagai pajak dari ASN Muslim," kata dia.
Sehingga kewajiban seluruh warga negara sama, hanya saja Muslim sekaligus menunaikan kewajiban agama. Cholil mengatakan inilah ruh dari Sila pertama Pancasila. Selain itu, ia juga mengusulkan agar zakat menjadi pendapatan negara. Setiap warga negara dapat memilih antara membayar zakat di lembaga resmi atau membayar pajak kepada lembaga negara.
Sehingga bukti bayar zakat atau sedekah itu bisa digunakan sebagai bukti bayar pajak dan bukan pengurang pajak. Sementara ini UU Amil Zakat hanya mengatur amilnya, bukan muzakki atau penggunaannya kepada mustahiq.
Cholil mengatakan Baznas atau LAZ saat ini mengumpulkan dana umat secara sukarela dan hasilnya tak maksimal. "Ini karena zakat hanya pengurang kewajiban pajak bukan sebagai pajak," kata dia.
Fungsi Baznas/LAZ bisa dimaksimalkan dengan cara mewajibkan seluruh warga yang wajib zakat membayarnya di lembaga tersebut. Dengan jaminan bahwa yang dibayarkan adalah sebagai pajak dan sekaligus sesuai dengan ketentuan syariah juga konsep pemerataan ekonomi.
Cholil menilai Kementerian Agama RI juga tak perlu Perpres kalau hanya imbauan saja. Karena UU-nya sudah ada sehingga kemungkinan tak efektif dan tak terlaksana. "Mari tata ulang UU zakat, konsep pendapatan negara dan bagaimana zakat menjadi instrumen kesejahteraan umat di Indonesia yang mayoritas beragama Islam," katanya.
Bayar pajak (ilustrasi).
Bagaimana cara pemerintah hitung zakat PNS?
Selain soal status pajak, bagaimana cara pemerintah menghitung zakat PNS juga perlu dibuat gamblang. Akademisi Universitas Hasanuddin, Saiful Jihad mempertanyakan hal ini.
"Bagaimana pemerintah menghitung jumlah pendapatan ASN setelah dipotong semua pengeluaran kebutuhan dasarnya, utangnya, dan pengeluaran dengan biaya operasional dalam bekerja, sehingga negara bisa menetapkan yang bersangkutan telah berkewajiban untuk mengeluarkan zakat profesinya," kata Saiful Jihad, Kamis (8/2).
Meski pemerintah mengatakan hanya ingin menfasilitasi agar ASN Muslim bisa berzakat, tetapi banyak hal yang perlu dilakukan. Utamanya membangun kepercayaan umat kepada pemerintah dan lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola zakat.
"Akan lebih bijak jika Menteri Agama menunda dahulu kebijakan tersebut, dengan mendorong agar masing-masing individu dan dengan dibantu oleh petugas dari BAZ atau LAZ yang ada, untuk dapat menghitung kewajiban zakatnya," papar aktivis Perludem Sulsel ini.
Pengurus IKA PMII ini menjelaskan, mengutip kembali ketentuan syara' terkait zakat. Wajibnya zakat uang dan sejenisnya baik yang didapatkan dari warisan, hadiah, kontrakan atau gaji, atau lainnya, harus memenuhi dua kriteria. Pertama batas minimal nishab, dan kedua harus menjalani haul atau putaran satu tahun.
Bila tidak mencapai batas minimal nishab dan tidak menjalani haul maka tidak diwajibkan atasnya zakat berdasarkan, Sabda Rasulullah.'Kamu tidak mempunyai kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul' (hadits riwayat Abu Dawud)
Kemudian penetapan zakat tanpa haul dan nishab hanya ada pada rikaz (harta karun), sedangkan penetapan zakat tanpa haul hanya ada pada tumbuh-tumbuhan (biji-bijian dan buah-buahan) namun ini tetap dengan nishab.
"Jadi penetapan zakat profesi (penghasilan) tanpa nishab dan tanpa haul merupakan tindakan yang tidak berlandaskan dalil, qiyas yang shahih dan bertentangan dengan tujuan-tujuan syari'at, juga bertentangan dengan nama zakat itu sendiri yang berarti berkembang," ungkap Jihad.
Meski demikian, pihaknya sangat sepakat kalau harta tersebut mesti disucikan (tuthahhirihim wa tuzakkihim), tetapi ketentuan syara' mesti dijalankan.
Ilustrasi Zakat
Tak sekadar memungut zakat
Sejauh ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum pernah diajak bermusyawarah oleh Kemenag atau Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk membicarakan pungutan zakat PNS. Hanya saja, Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi mengatakan, zakat tak sekadar persoalan memungut atau mengumpulkan uang dari muzakki (orang yang berzakat). T
Tetapi ini menyangkut juga tentang siapa saja PNS yang terkena kewajiban zakat, berapa batas nishab dari gaji/pendapatan yang dikenakan wajib zakat. Belum lagi soal apakah sifatnya mandatory (wajib) atau voluntary (sukarela) dan bagaimana tasharruf (penyaluran, distribusi) zakat tersebut.
"Syariat Islam memberikan perhatian besar dan memberikan kedudukan tinggi pada ibadah zakat ini," ujarnya kepada //Republika.co.id, Jakarta, Kamis (8/2).
Ibadah zakat adalah merupakan salah satu dari rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat. Selain untuk melaksanakan perintah Allah SWT, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk membantu umat Islam yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. "Kami setuju bahwa potensi zakat harus lebih dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat Islam," ucapnya.
Namun, diharapkan dalam pelaksanaannya harus melalui sebuah perencanaan yang baik, kesiapan institusi zakat (BAZNAS) yang profesional, kapabel, dan akuntabel. "Lebih dari itu juga harus melibatkan para pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap pengelolaan zakat," ungkapnya.
Ia menyarankan, sebelum hal tersebut diwacanakan secara terbuka di publik, sejatinya gagasan tersebut disosialisasikan terlebih dahulu kepada ormas-ormas Islam dan pemangku kepentingan lainnya. Sehingga tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan di masyarakat.
MUI, kata dia, berkepentingan mengingatkan hal ini, karena jumlah uang yang akan dikelola cukup besar. Apalagi uang tersebut adalah uang umat Islam yang harus ditasharufkan (didistribusikan) secara amanah, dan sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan ketentuan perundang-undangan.