Rabu 31 Jan 2018 06:03 WIB

Mempersoalkan Wawasan Sejarah Jenderal Polisi

Pernyataan Kapolri menunjukkan lemahnya pengetahuan sejarah para jenderal polisi.

Rep: Amri Amrullah, Kiki Sakinah/ Red: Elba Damhuri
Kain berwarna merah putih, ilustrasi
Foto: Blogspot
Kain berwarna merah putih, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID Ucapan Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian dalam sebuah rekaman video yang menyebar luas menuai polemik. Dalam video tersebut, Tito menyatakan, polisi hendaknya hanya merangkul ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di semua lini. Tito pun menyebutkan, organisasi lain selain NU dan Muhammadiyah merontokkan negara.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto mengatakan, Kapolri akan bertemu dengan organisasi Islam lainnya. “Nanti akan ada pertemuan dengan organisasi-organisasi Islam. Kita silaturahim,” kata Setyo di Jakarta, Selasa (30/1).

Selain bersifat silaturahim, kata Setyo, Polri juga akan memberikan penjelasan terkait ucapan Tito Karnavian. Setyo menjelaskan, ucapan Tito itu terlontar pada 2016.

“Waktu itu kalau tidak salah ada MoU dengan NU. Saya waktu itu masih kadiv hukum. Bahkan, gambarnya (yang) viral ada gambar saya di situ. Saya masih kadiv hukum dan (peristiwa dalam video terjadi) di kantor PBNU, kalau tidak salah,” kata Setyo.

Adapun ucapan Tito dalam video yang viral berbunyi, “… Semua Kapolda saya wajibkan untuk membangun hubungan dengan NU dan Muhammadiyah tingkat provinsi. Semua polres wajib membuat kegiatan-kegiatan untuk memperkuat para pengurus cabang di tingkat kabupaten dan kota. Para kapolsek wajib untuk di tingkat kecamatan bersinergi dengan NU dan Muhammadiyah, jangan dengan yang lain. Dengan yang lain itu nomor sekian, mereka bukan pendiri negara, mau merontokkan negara malah iya .…”

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen meminta Kapolri meminta maaf terkait pidato yang disampaikan dalam video yang beredar. “Saya sangat kecewa dan keberatan atas pidato Kapolri yang saya nilai provokatif , tidak mendidik, buta sejarah, tidak berkeadilan, dan rawan memicu konflik. Saya dan umat sekarang menunggu pernyataan maaf dari Kapolri,” kata Tengku melalui pesan singkatnya, Selasa (30/1).

Tengku mengaku sempat menuliskan surat terbuka di akun Facebook-nya yang diunggah pada 29 Januari 2018. “Benar, itu saya yang menuliskan, langsung dengan tangan saya,” kata dia.

Dalam surat terbuka yang diunggah Tengku, dia menuliskan sejarah ormas-ormas Islam selain NU dan Muhammadiyah yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tulisan itu merupakan bentuk protes atas pidato Kapolri yang menyebut ormas lain selain NU dan Muhammadiyah justru merontokkan negara. Di akhir surat tersebut, Tengku pun meminta Tito meminta maaf.

Menurut Tengku, Kapolri tidak perlu melakukan klarifikasi terkait ucapannya yang menyebut ormas Islam selain NU dan Muhammadiyah merontokkan negara. Umat Islam bukan memerlukan alasan Kapolri, melainkan permintaan maaf. “Tidak perlu ngeles-ngeleslah. Tidak perlu lagi, sudah tersakiti umat Islam. Cukup minta maaf,” ujar Zulkarnain.

Zulkarnain juga menilai rencana Polri mengumpulkan ormas Islam untuk mengklarifikasi hal tersebut tidak perlu dilakukan. “Tak usahlah. Lebih gentlemen minta maaf,” kata dia.

Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan, pernyataan Kapolri menunjukkan lemahnya pengetahuan sejarah para jenderal polisi terkait peran ulama dan umat Islam di Indonesia. “Itu bukan kali pertama,” kata Mansur.

Sebelumnya, kata dia, mantan kapolda Jabar yang juga maju sebagai calon wakil gubernur Jabar dari PDI Perjuangan, Irjen Polisi Anton Charliyan, salah mengutip sejarah dalam acara di stasiun televisi. Anton menyebut Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari sebagai salah satu dari Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

“Fakta sejarahnya, apa yang disampaikan Kapolri dan Anton itu salah total. Ini cukup memalukan. Saya meminta perwira dan jenderal polisi untuk belajar sejarah lagi agar kesalahan yang sama tidak terulang,” ujar Mansur.

Mansur yang merupakan penulis buku sejarah Indonesia ternama berjudul Api Sejarah melanjutkan, kesalahan dua jenderal polisi dalam mengutip sejarah bangsa Indonesia, khususnya terkait umat Islam, sangatlah fatal, apalagi dengan menyebut hanya NU dan Muhammadiyah saja yang berperan mendirikan bangsa ini.

“Ke mana Mohammad Natsir yang juga tokoh penting di Persatuan Islam (Persis) dan juga pernah menjadi perdana menteri kelima di era Sukarno? Bagaimana Tuan Guru Kiai Haji Abdul Madjid pendiri Nahdlatul Wathan di NTB yang kemarin diberi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi? Apakah perannya selama ini yang telah dicatat sejarah dilupakan Kapolri?” sindir Mansur.

Kesalahan fatal lain yang disampaikan Anton Charliyan dengan menyebut Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari sebagai Panitia Sembilan yang dibentuk pada 1 Juni 1945. Padahal, Ahmad Dahlan meninggal pada 23 Februari 1923. “Dan bukan Hasyim Asy'ari yang menjadi Panitia Sembilan, melainkan putranya, Wahid Hasyim.”

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Mohammad Siddik juga sangat menyesalkan pernyataan Kapolri. Menurut dia, pernyataan Kapolri sangat menghina dan sangat disesalkan.

“Pernyataan itu tidak sesuai dengan sejarah. Tidak ada ormas Islam yang merontokkan NKRI. DDII memprotes pernyataan Kapolri yang mengabaikan ormas Islam lainnya,” kata Siddik. (arif satrio nugroho pengolah:  eh ismail).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement