REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Hanya lima menit saja jeda waktu Akbar untuk menyeberang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Namun, pertemuannya yang tidak disengaja dengan Noor Huda Ismail, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), di salah kota di Turki justru mengubah keputusannya. Dia kembali mengingat Ibunya di Aceh.
Dalam siaran pers yang diterima Republika, Senin (29/1), kisah ini kemudian diangkat dalam sebuah film berjudul Jihad Selfie. Sejak dua tahun lalu, film ini telah membuka diskusi tentang cara baru perekrutan jaringan teroris yang sangat efektif menggunakan media sosial. Selain itu, film ini juga mengungkap tentang pentingnya peran komunitas, masyarakat, dan keluarga.
Kali ini dalam National IRCC Convention 2018, akhir pekan lalu di Singapura, Jihad Selfie bertemu langsung dengan Presiden Singapura, Halimah Yacob. Sang Sutradara, Noor Huda Ismail dan Teuku Akbar Maulana bahkan berdiskusi panjang dengan Presiden Muslim pertama di Singapura itu.
IRCC atau The Inter-Racial and Religious Confidence Circles adalah sebuah platform yang dibentuk untuk mempromosikan keharmonisan antaragama dan ras di Singapura. Institusi ini merupakan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk memperkuat ikatan sosial di negara tersebut. Pada konvensi yang baru pertama kali digelar itu, ada sekitar 800 ratus tokoh atau aktivis lintas agama hadir.
"Apa yang membuatmu ingin ke sana (Suriah)?," Tanya Halimah membuka percakapan. "Saya ingin menjadi lelaki sejati," jawab Akbar spontan.
Jawaban itu kemudian diikuti dengan senyuman dan tawa kecil awak media yang mengelilingi mereka. Pembicaraan kemudian mengalir tentang alasan Akbar yang lebih detail dan media sosial yang mempertemukannya dengan propaganda ISIS.
"Lalu, apa yang membuatmu tidak jadi berangkat?" ujar Ibu Presiden. "Saya tidak jadi menyeberang karena saya ingat ibu saya setelah berbincang dengan mas Huda ketika saya menunggu teman yang akan menjemput saya untuk menyeberang ke Suriah ," kata Akbar.
Pertemuan dengan orang nomor satu di Singapura ini bukan hanya sekadar bincang-bincang. Menurut Noor Huda Ismail, diskusi selama 15 menit itu justru menjadi titik penting. Terutama tentang pendekatan untuk penyelesaian masalah radikalisme.
"Penyelesaian masalah radikalisme itu tidak hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan saja, tetapi harus melibatkan berbagai unsur masyarakat dan komunitas," ujar Huda.
Ia pun menggarisbawahi, media sosial mendemokratisasi proses perekrutan yang bisa secara langsung menyasar target, bahkan di kamar mereka sendiri. Selain itu, dia menemukan bahwa orang yang terlibat dalam jaringan ISIS adalah orang normal.
Lalu, belum ditemukan pola yang sama sehingga ada berbagai macam variasi motif. Oleh karena itu, terciptanya ikatan emosional yang sehat, terutama pada keluarga menjadi bagian penting penyelesaian isu.