Ahad 28 Jan 2018 00:31 WIB

'Pelecehan Pasien di Surabaya Mungkin Fenomena Gunung Es'

Kasus pelecahan seksual di Surabaya bisa mengungkap kasus serupa di sektor kesehatan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Aksi protes menentang pelecehan seksual terhadap kaum wanita. (ilustrasi)
Foto: Antara/Reno Esnir
Aksi protes menentang pelecehan seksual terhadap kaum wanita. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Ombudsman Republik Indonesia Ahmad Suaedy menilai kasus pelecehan seksual yang dialami seorang pasien berinisial WD di Surabaya pada 23 Januari 2018 lalu merupakan fenomena gunung es kasus pelecehan seksual yang terjadi di sektor kesehatan. Bahkan, ia menganggap, kasus ini dapat membuka kotak pandora kasus serupa.

Ahmad mengatakan pelecehan seksual di tempat-tempat kesehatan sulit diungkap. Korban pelecehan seksual masih kerap enggan melaporkan kejadian yang menimpanya karena takut dengan justifikasi masyarakat. 

Dia menilai ada kemungkinan hal ini juga lantaran kurangnya layanan pengaduan dan pengelolaan pengaduan kasus pelecehan seksual. Selain membantu mendorong pengungkapan peristiwa serupa, Suaedy juga berpendapat, kasus yang dialami WD bisa menjadi kotak pandora mekanisme pelayan publik yang seharusnya diterima oleh publik. 

Sebab, dalam kasus tersebut, terdapat sejumlah keganjilan terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. WD disebutkan setengah sadar karena baru saja menjalani operasi ditangani oleh seorang perawat pria, Zunaidi, yang kemudian melakukan pelecehan seksual. 

Seharusnya, menurut Ahmad, pasien harus mengetahui bagaimana mekanisme pelayanan yang diterimanya. “Jadi kita harus tahu SOP (standar pelayanan prosedur) pelayanan publik,” kata dia di Jakarta Pusat, Sabtu (26/1).

Sesuai Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, setiap penyelenggara wajib memberitahukan masyarakat mekanisme pelayanan publik yang harusnya diterima oleh masyarakat. Namun, dia menerangkan, pelanggaran masih rentan terjadi karena hal ini berada di aera abu-abu. 

Untuk itu, Ahmad berharap agar seluruh instansi terkait baik Kementerian Kesehatan maupun pelaku usaha kesehatan menggariskan standar operasional prosedur yang jelas, termasuk mekanisme pengaduan bila terjadi indikasi pelanggaran.

Misalnya, dai mencontohkan, begitu pasien datang mendaftar, dia harus mendapatkan informasi tentang prosedur, fasilitas, dan cara pengaduan ketika ada masalah. “Kami mengimbau agar rumah sakit memperlakukan pasien lebih manusiawi. Kalau dalam perdagangan itu sebagai raja sehingga mereka punya hak-hak,” ujar dia.

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Irma Suryani menyoroti komposisi badan pengawas rumah sakit di Kementerian Kesehatan. Seharusnya, kata dia, badan ini tidak hanya berasal dari unsur praktisi kesehatan saja. 

Selama ini, menurutnya, badan pengawas hanya berisi praktisi kesehatan. "Seharusnya ada dari elemen masyarakat juga yang non kesehatan," kata dia.

Politikus Partai Nasdem ini juga meyakini pelecehan dialami oleh WD ini bakal menjadi pintu awal terbukanya kasus serupa yang belum terungkap ke publik. Buktinya, kata dia, dugaan sementara, kasus pelecehan di RS National Hospital bukan yang pertama terjadi.

"Dengan kasus ini, baru polisi bilang ada kasus yang sama terjadi di rumah sakit itu. Kalau kejadian ini tidak viral kasus ini hilang ditelan angin, pelakunya harus ditindak," kata dia menegaskan. 

Irma juga meminta Kemenkes melakukan tindakan tegas terkait kasus oknum pelecehan yang dialami oleh WD dari seorang perawat, Zunaidi, di RS National, Surabaya. Penindakan tegas, menurut Irma bukan hanya ditujukan pada oknum perawat secara individu, yeyapi juga rumah sakit. 

"Menkes jangan lambat jangan lelet, beri punishment yang sesuai, jangan cuma administrasi, tidak akan memberikan efek jera kalau cuma sanksi administrasi," kata Irma.

Perwakilan pelaku industri kesehatan, Anthony Charles Sunario menjelaskan, dalam industri pelayanan kesehatan terdapat dua pelayanan yang diterima masyarakat, yakni medis dan non-medis. Anthony pun mengakui, SOP di bidang pelayanan kesehatan yang sifatnya medis memang belum dibuat dengan baik. “Ini yang belum terstruktur dengan baik,” kata dia. 

Ia membenarkan jika kasus pelecehan seksual kerap terjadi di sektor ini. Bahkan, bisa saja terjadi bukan hanya kepada pasien, tetapi juga praktisi kesehatan seperti perawat dan dokter oleh pasien. 

Untuk itu, menurut dia, baik dari pengelola rumah sakit maupun pemerintah perlu menetapkan suatu standar yang jelas. Dengan demikian, pengawasan pelanggaran menjadi lebih jelas. “Pengawaan tentu harus dilakukan agar bisa meminimalisir,” kata dia menutup.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement