Sabtu 27 Jan 2018 10:28 WIB

Cina Sukses Kloning Kera, Selanjutnya Manusia?

Tidak menutup kemungkinan pengklonaan dapat dilakukan untuk manusia.

Keras hasil kloning.
Foto: Institute of neuroscience of chinese academy of sciences.
Keras hasil kloning.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fira Nursya'bani, Gumanti Alawiyah

Jagat sains heboh tatkala domba Dolly, sebuah domba hasil kloning (pengklonaan), lahir pada 1996 di Edinburgh, Skotlandia. Menggunakan proses somatic cell nuclear transfer (SCNT), Dolly menjadi titik penting dalam perkembangan sains bertahun-tahun kemudian.

Tercatat di sejumlah belahan dunia, teknik SCNT berhasil mengklonakan lebih dari 20 spesies, termasuk sapi, babi, anjing, kelinci, dan tikus. Namun, proses serupa yang diujikan pada primata, ordo yang juga ditempati manusia (Homo sapiens), selalu gagal. Beberapa ilmuwan lantas bertanya-tanya perihal kemungkinan ada resistensi pada primata terhadap pengklonaan.

Namun, rentetan kegagalan itu berakhir pada pengujung tahun lalu. Ilmuwan Cina berhasil mengklonakan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dengan menggunakan teknik yang sama seperti pengklonaan domba Dolly dua dekade lalu. Terdapat dua kera ekor panjang identik yang sukses diklonakan, keduanya bernama Zhong Zhong dan Hua Hua.

Sebagaimana dijelaskan, pengklonaan ini melalui sebuah proses yang disebut SCNT. Prosesnya melibatkan transfer nukleus (inti) sel, yang di dalamnya terdapat DNA ke dalam sel telur yang intinya telah terlebih dahulu dikeluarkan.

photo
Kloning Monyet: Monyet hasil kloningan di Cina.

Para ilmuwan Cina kemudian mengedit gen secara in vitro (prosedur perlakuan dalam lingkungan terkendali di luar organisme), hingga menghasilkan sel somatik (semua jenis sel yang membentuk suatu organisme) dengan genotipe yang sama. Sel telur yang direkonstruksi kemudian menghasilkan embrio, yang dimasukkan ke dalam rahim monyet betina pengganti, sehingga menghasilkan sekelompok monyet pengklonaan dengan latar belakang genetik yang sama.

Hasil penelitian para ilmuwan Cina ini termaktub dalam jurnal Cell berjudul Cloning of Macaque Monkeys by Somatic Cell Nuclear Transfer yang terbit pada 20 Januari lalu. Pada Rabu, para ilmuwan Cina mengadakan jumpa pers khusus.

Direktur Fasilitas Penelitian Primata Non Manusia Akademi Ilmu Pengetahuan Cina, Sun Qiang, memimpin sekelompok ilmuwan selama tiga tahun untuk mengatasi kendala dari sisi biologis dalam proses ini. Ia menceritakan langkah Liu Zen, salah seorang anggota peneliti, yang berupaya mengoptimalkan prosedur SCNT.

Liu menguji berbagai metode untuk secara cepat dan tepat mengeluarkan inti sel dari sel telur dan melakukan penggabungan sel donor nukleus dan sel telur enukleat. "Prosedur SCNT agak rumit, jadi semakin cepat Anda melakukannya, semakin sedikit kerusakan pada telur yang Anda miliki, dan Liu memiliki kemampuan untuk melakukan ini," kata Sun seperti dikutip Xinhua, Jumat (26/1).

Zhong Zhong dan Hua Hua yang diberi susu botol kini telah tumbuh dengan normal. Para ilmuwan berharap dapat mengklonakan lebih banyak lagi kera dalam beberapa bulan mendatang. Keberhasilan ini harus menjadi terobosan bagi penelitian medis untuk melakukan studi penyakit otak pada populasi kera.

Namun, mereka tidak menutup kemungkinan pengklonaan dapat dilakukan untuk spesies manusia. "Manusia adalah primata. Jadi (untuk) pengklonaan spesies primata, termasuk manusia, kesulitan teknisnya telah berhasil dipecahkan," ujar Muming Poo, yang membantu mengawasi program di akademi tersebut.

Saat ini, kurangnya perawatan untuk kebanyakan penyakit otak dikaitkan dengan fakta bahwa tikus yang banyak digunakan di laboratorium, memiliki perbedaan nyata dengan manusia pada jenis genom. Obat-obatan yang keluar dari laboratorium sering kali tidak efektif atau menimbulkan efek samping.

Untuk virus Ebola, terapi berdasarkan studi model kera telah terbukti efektif dan studi virus Zika yang sedang berlangsung bisa terbukti serupa. Mereka berencana memproduksi monyet pengklonaan yang dirancang untuk meneliti penyakit otak terkait gen, seperti penyakit alzheimer, parkinson, dan autisme, yang akan memberi kami keunggulan internasional dalam penelitian otak primata.

Para ilmuwan Cina ini memastikan mereka mengikuti pedoman internasional untuk melakukan penelitian hewan yang telah ditetapkan oleh Institut Kesehatan Nasional AS. Namun, penelitian mereka tetap menghasilkan perdebatan perihal apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan dalam pengklonaan primata.

Hasil penelitian terbaru tentang pengklonaan kera yang diterbitkan pada Rabu (24/1) di jurnal Cell ini menunjukkan hal sebaliknya. Ilmuwan Cina berhasil menggunakan modulator untuk mengaktifkan atau menonaktifkan gen tertentu, yang menghambat perkembangan embrio.

Meski demikian, tingkat keberhasilan mereka sangat rendah dan teknik ini bekerja hanya jika nukleus dipindahkan dari sel janin, bukan dari sel dewasa seperti yang terjadi pada Dolly. Secara keseluruhan, dibutuhkan 127 sel telur untuk melahirkan dua kera hidup dan puluhan kali kegagalan janin kera.

"Ini tetap merupakan prosedur yang sangat tidak efisien dan berbahaya. Hasil penelitian ini bukanlah batu loncatan untuk menerapkan metode guna melakukan pengklonaan terhadap manusia. Ini jelas merupakan hal yang sangat bodoh untuk dicoba," kata Robin Lovell-Badge, seorang ahli pengklonaan di Francis Crick Institute di London.

Tidak masalah

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menilai, pengklonaan dua ekor kera yang dilakukan ilmuwan Cina sebagai pertanda semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di dunia.

"Kloning kera itu ya itulah pengembangan teknologi. Ini tidak bisa dihindarkan," ujar Nasir seusai meletakkan batu pertama di Institut Teknologi Batam (ITEBA), Batam, Kepulauan Riau, Jumat (26/1).

Di Indonesia, menurut dia, pengklonaan pada hewan bahkan manusia bisa saja dikembangkan. Namun, semua itu, dia melanjutkan, tetap bergantung pada etika dan regulasi yang disepakati masyarakat dan Pemerintah Indonesia sendiri.

"Untuk kloning hewan saya rasa tidak menjadi masalah jika dikembangkan. Tapi, untuk kloning pada manusia? Etika dan regulasi di Indonesia belum mendukung. Karena kita memiliki etika yang harus dijaga," kata Nasir.

Ia menjelaskan, penolakan terhadap pengklonaan manusia, khususnya di Indonesia, berdasar pada tidak menentunya asal usul pengklonaan tersebut. Karena itu, menurut Nasir, hingga saat ini masih banyak pihak yang menentang pengklonaan yang dilakukan pada manusia. "Tapi intinya, kami bergantung pada etika itu saja," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement