REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Masyarakat nagari, setingkat desa, di Sumatra Barat kini memiliki akses legal terhadap hutan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Masyarakat nagari yang secara struktur termasuk masyarakat adat, kini diperbolehkan memanfaatkan kawasan hutan untuk pengembangan usaha, sepanjang kelestariannya terjaga.
Akses legal atas kawasan hutan ini dituangkan dalam lima bentuk skema pengelolaan, yakni hutan nagari atau hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno (IP) menyebutkan, Sumatra Barat kebagian 500 ribu hektare perhutanan sosial yang bisa dimanfaatkan masyarakat nagari atau adat. Dari angka tersebut, baru 80 ribu hektare hutan telah memiliki Surat Keputusan (SK) pemanfaatan untuk masyarakat dan 120 ribu hektare lagi masih diurus di KLHK.
IP memandang, pemberian legalitas bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan merupakan salah satu jurus untuk mengentaskan kemiskinan. Selama ini, lanjutnya, kemiskinan yang menghantui penduduk yang tinggal di kawasan hutan lantaran terbatasnya akses mereka terhadap hak pengelolaan. Padahal IP meyakini, masyarakat adat terutama yang tinggal dekat dengan hutan memiliki kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan.
"Kalau masyarakat di sekitar hutan yang bisa manfaatkan hutan saya jamin hutan akan lestari. Namun kalau yang datang orang luar, dengan modal yang besar, hutan akan rusak," ujar IP, Senin (22/1).
Pemprov Sumbar mencatat, saat ini terdapat 800 nagari dari sekitar 923 nagari di Sumbar yang berbatasan dengan kawasan hutan atau berada di dalam kawasan hutan. Angka tersebut, menurut IP, menekankan betapa masyarakat di Sumatra Barat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan hutan. IP memilih menyerahkan kepercayaannya kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan ketimbang secara gegabah mengizinkan pemodal besar masuk kawasan hutan.
"Hutan kini bisa diapa-apain. Tanam jengkol bisa. Padahal jengkol ini selama ini menyumbang inflasi di Sumbar," jelas IP.
Namun IP mewanti-wanti, permasalahan lain siap menunggu setelah hak pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat adat, yakni kemampuan masyarakat dalam mengakses pasar. Menurutnya, bisa saja masyarakat adat memanfaatkan hutan adat untuk bertanam kopi, jeruk, durian, atau membudidaya ikan. Tapi perlu adanya bimbingan dan pembinaan agar produk yang dihasilkan bisa menyentuh konsumen.
Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Sumatra Barat, Riche Rahma Delvita, menjawab keresahan yang diungkapkan Gubernur Sumbar. Riche bersama komunitas yang ia pimpin mencoba memfasilitasi masyarakat nagari yang tinggal di kawasan hutan agar mampu mengelola dan memasarkan produk usahanya. Hingga Januari 2018, tercatat ada 13 kelompok dari 13 nagari di Sumatra Barat yang berhasil memasarkan 30 produk berbasis masyarakat.
"Setelah masyarakat mendapat legalitas atas hutan dan bisa memanfaatkannya, lantas bagaimana produk bisa masuk pasar? Itu yang kami upayakan," ujar Riche.
KKI Warsi kemudian mengoneksikan masyarakat adat dengan perbankan agar pinjaman atau pembiayaan bisa diperoleh di awal. Tak hanya itu, produk-produk yang dihasilkan masyarakat adat juga diikutkan berbagai pameran untuk menggaet pasar lebih luas.
Advertisement