Sabtu 20 Jan 2018 07:04 WIB

Penetapan Batas Hutan Antisipasi Konflik Satwa dan Manusia

Perkebunan petani di sejumlah pedalaman Aceh Utara kerap diganggu kawanan gajah.

 Kawanan gajah liar memasuki kawasan perkebunan kelapa sawit di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Rantoe Peureulak, Aceh Timur, Aceh, Kamis (19/11). (Antara/Syifa Yulinnas)
Kawanan gajah liar memasuki kawasan perkebunan kelapa sawit di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Rantoe Peureulak, Aceh Timur, Aceh, Kamis (19/11). (Antara/Syifa Yulinnas)

REPUBLIKA.CO.ID, LHOKSEUMAWE -- Untuk mengatasi konflik antara manusia dengan satwa, seperti gajah di Provinsi Aceh, Kelompok Tani minta pemerintah menetapkan batasan khusus kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Selain mudah dalam pengawasan, juga menjadi kawasan konservatif.

Ketua Kelompok Tani Hijrah Alue Lhok, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara, Tgk. Ibrahim Din, Jumat (19/1) menyebutkan, saat ini perkebunan milik petani di beberapa daerah pedalaman di Aceh Utara, kerap diganggu kawanan gajah sebagai salah satu jenis hewan yang dilindungi.

Persoalan tersebut telah terjadi bertahun-tahun yang mengakibatkan kerugian bagi petani akibat rusaknya tanaman dan lahan pertanian serta semakin bertambahnya eskalasi gangguan dari satwa tersebut.

"Oleh karena itu, berdasarkan persoalan tersebut, untuk mengatasi konflik manusia dan satwa, kami sebagai petani mengusulkan kepada pemerintah supaya menetapkan secara pasti batas hutan lindung dan hutan produksi. Sehingga dengan adanya hutan lindung, maka gajah-gajah yang selama ini berkeliaran dikawasan perkebunan petani bisa digiring ke hutan lindung," ujar Ketua Kelompok Tani Hijrah, Paya Bakong tersebut.

Dengan adanya batasan hutan lindung, selain jelas batasan hutan produksi dan lahan yang boleh digarap, juga akan memudahkan pengawasan bagi pemerintah dan pihak terkait terhadap berbagai aktivitas pengrusakan hutan atau illegal logging di wilayah konservasi alam tersebut.

"Dengan jelasnya hutan lindung dan hutan produksi, maka masyarakat dalam menggarap lahan tidak masuk ke hutan lindung sebagai tempat berbagai jenis satwa didalamnya. Juga memudahkan bagi pemerintah dalam mengawasinya," kata petani tersebut menjelaskan.

Terkait usulan tersebut, pihaknya sudah menyurati Gubernur Aceh dan sudah ditanggapi oleh pemerintah provinsi dengan turunnya surat yang ditujukan kepada Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bernomor 648/34790, yang ditandatangani oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Drs. Syaiba Ibrahim, pada 2 Oktober 2017, tentang Konflik Gajah dan Manusia.

"Usulan tersebut, tembusannya juga disampaikan kepada Bupati Aceh Utara, sehingga pada Rabu (17/1) dilakukan rapat untuk membahas persoalan dimaksud yang dilakukan di kantor Bupati Aceh Utara," ujar Tgk. Ibrahim Din menjelaskan.

Pengalaman selama ini dengan adanya kawanan gajah, belum maksimal dalam mengatasi persoalan konflik dengan manusia. Karena sifatnya bukan antisipasi akan tetapi penanganan setelah terjadi dan hanya mengusirnya saja.

"Oleh karena itu, salah satu solusi jangka panjang mengatasi konflik manusia dan satwa adalah membuat batasan hutan lindung dan hutan produksi serta menghalau berbagai jenis satwa yang dilindungi kedalam hutan lindung sebagai kawasan yang dilindugi," ucap Ketua Kelompok Tani Hijrah tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement