Sabtu 20 Jan 2018 06:13 WIB

Perbandingan Rumah DP Rp 0 Anies dan Sejuta Rumah Jokowi

Anies mengakui program DP nol rupiah tidak semua dapat dijangkau kalangan bawah.

Rep: Sri Handayani/ Red: Elba Damhuri
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi peletak batu pertama (ground breaking) pembangunan rumah susun Klapa Village di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/1).
Foto: Republika/ Mas Alamil Huda
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi peletak batu pertama (ground breaking) pembangunan rumah susun Klapa Village di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies  Baswedan dianggap meniru program gubernur DKI periode 2012-2014 Joko Widodo (Jokowi) terkait rumah DP (down payment) nol rupiah di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi mengatakan, jika dilihat skemanya, program rumah susun sederhana milik (rusunami) yang digagas Anies bersama Sandiaga Uno mirip dengan program pembangunan rumah besar-besaran yang digagas Presiden Jokowi.

"Kalau liat dari skemanya, mirip sama program sejuta rumah Jokowi," kata politikus PDIP itu di Jakarta, Jumat (19/1).

Bahkan, Prasetyo menilai, program Jokowi lebih unggul dibandingkan Anies sebab harga rumah yang ditawarkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) lebih terjangkau. Dia menilai, harga rumah DP nol rupiah masih terlalu tinggi dan tak bisa dijangkau oleh masyarakat kecil.

Prasetyo menjelaskan, program sejuta rumah yang dikerjakan pemerintah pusat memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Program tersebut merupakan kredit perumahan rakyat (KPR) bersubsidi dengan bunga sampai 5,5 persen per tahun dan jangka waktu sampai 20 tahun.

Menurut dia, harga jual rumah tersebut berkisar antara Rp 100 juta sampai Rp 135 juta untuk rumah tapak. Cicilan yang diharus dilunasi oleh MBR hanya Rp 825 ribu sampai Rp 1,1 juta per bulan. Dengan begitu, sambung dia, masyarakat dengan pendapatan Rp 3 jutaan per bulan masih bisa mencicil sesuai dengan persyaratan perbankan.

Sementara, ia menyinggung, rusunami yang diluncurkan Anies memiliki cicilan minimum Rp 1,5 juta sampai Rp 2,6 juta per bulan. Artinya, program itu hanya bisa diikuti oleh masyarakat dengan penghasilan di atas Rp 4,5 juta per bulan. Padahal, masih banyak masyarakat yang hanya menerima gaji sesuai upah minimum regional (UMR).

"Sedangkan, UMR DKI Rp 3,6 juta. Jadi, rusunami DP nol rupiah itu bukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tapi kelas menengah," kata Prasetyo.

Gubernur Anies mengakui, tak seluruh unit DP nol rupiah dapat dijangkau kalangan bawah. Meski begitu, pihaknya telah menyiapkan skema lain untuk warga yang tidak mampu memenuhi persyaratan perbankan.

Anies mengaku, telah mendiskusikan adanya kemungkinan untuk menggunakan sistem sewa jangka panjang. Pada akhir masa sewa, rumah itu dapat menjadi hak milik penyewa. "Memang sebagian ada komponen masyarakat kita yang tidak bisa mulainya dengan rusunami. Mulainya dengan sewa," kata Anies di Balai Kota DKI, kemarin.

Anies menambahkan, ada beberapa syarat agar penyewa dapat memperoleh hak milik hunian tersebut. Dia mengatakan, penyewa harus membayar biaya sewa secara rutin. Selain itu, mereka harus merawat rumah yang dihuni dengan baik dan rapi.

"Di sini, kita akan siapkan yang polanya sewa, tertib bayarnya, perawatannya rapi, nanti di ujung bisa menjadi pemilik," kata Anies.

Kendati demikian, skema ini tidak bisa langsung diterapkan. Saat ini, Pemprov DKI sedang fokus merealisasikan unit pertama rumah DP nol persen itu yang mulai dipasarkan pada April 2018.

Sementara proyek itu berjalan, Pemprov menyiapkan skema sewa khusus untuk warga miskin. Kini, sedang dihitung ukuran rumah dan durasi penyewaan yang memungkinkan. Anies meminta MBR tidak khawatir. Dia meminta dukungan masyarakat untuk memulai unit pertama untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Sebelumnya, Ketua Real Estate Indonesia (REI) DKI Amran Nukman HD mengatakan, rumah DP nol rupiah tidak akan bisa dijangkau warga berpenghasilan Rp 4 juta ke bawah. Dia memastikan unit yang akan dibangun berupa rusun, bukan rumah tapak karena tingginya harga tanah di Ibu Kota.

Rusun menuntut adanya struktur bangunan, genset, dan fasilitas lain yang membuatnya lebih mahal daripada rumah tapak. Amran memperkirakan, harga rumah susun di DKI Jakarta berkisar Rp 300 juta per unit.

Di Jakarta Timur, harga rumah susun diperkirakan mencapai Rp 325 juta. Harga tertinggi berada di Jakarta Utara, yaitu Rp 345 juta. "Enggak mungkin Rp 100 jutaan," kata Amran.

Sandiaga menjelaskan, saat ini Pemprov DKI sedang menyiapkan skema pembelian rumah tersebut. Dia menuturkan, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI akan memimpin pembentukan badan layanan usaha daerah (BLUD) untuk menentukan skema pembayaran dengan menggandeng Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta pengusaha REI.

Selain skema pembiayaan, BLUD tersebut juga akan mematangkan persyaratan yang harus dipenuhi pembeli yang menginginkan rumah DP nol rupiah. "Saya pastikan skemanya bisa cocok dengan masyarakat penghasilan rendah. Kita akan sinergikan dan kolaborasikan dengan program pemerintah pusat juga," kata Sandiaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement