Rabu 10 Jan 2018 07:44 WIB

Nasib ‘Kambing Hitam' Bernama HTI

 Pasukan Asmaul Husna dan massa Aksi Tolak Perppu Ormas. (ilustrasi).
Foto: Republika/Singgih Wiryono
Pasukan Asmaul Husna dan massa Aksi Tolak Perppu Ormas. (ilustrasi).

Oleh: Ma'mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ

 

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan Pemerintah tanpa melalui proses yang lazim sebagaimana amanat UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Bahkan bila pembubarannya mendasarkan pada Perppu Nomor 2/2017 tentang Organisasi Masyarakat sekalipun, banyak tahapan pembubaran HTI yang dilanggar. HTI “hanya” dibubarkan oleh Menkopolhukam. Tak ada sanksi administrasi atau pun pidana. Proses pemberian sanksi administrasi dari mulai peringatan tertulis sampai penghentian kegiatan tak dilakukan oleh Pemerintah. Pemerintah langsung mengambil sanksi administrasi berupa pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Ini jelas pelanggaran UU dan juga Perppu.

Meskipun sudah dibubarkan, HTI masih saja terus disudutkan sebagai organisasi yang hendak mendirikan bukan sekadar Negara Islam tapi juga Negara Khilafah (Islamiyah). Beberapa individu maupun tokoh yang diduga menjadi pendukung HTI, yang tergambar dari pernyataan-pernyataannya terkait HTI yang tersebar di media sosial, dilarang mengisi pengajian. Pengajiannya diancam untuk dibubarkan. Kasus terbaru menimpa Felix  Siauw dan Bahtiar Nasir belum lama ini. Keduanya dilarang mengisi pengajian dengan dalih keduanya mendukung HTI.

Kalau ukuran dukungan terhadap HTI hanya dilihat dari pernyataan-pernyataannya di media massa, maka sebenarnya tidak hanya Felix Siauw dan Bahtiar Nasir. Ada banyak mantan pejabat di negeri ini yang pernah pembuat testimoni atau pernyataan dukungan kepada HTI. Beberapa di antaranya bahkan sekarang menjadi bagian dari Pemerintan yang telah membubarkan HTI itu sendiri.

Mungkinkah Berdiri Negara Khilafah?

Meskipun bercita-cita mendirikan Negara Khilafah, namun kalau melihatnya dengan nalar yang jernih, sejatinya tak ada satu celah pun dalam sistem politik Indonesia yang bisa menjadi pintu masuk bagi HTI untuk mendirikan Negara Khilafah, sehingga menyudutkan HTI menjadi sangat berlebihan.

Kalau berkaca pada kasus Turki misalnya, di mana Recep Tayyip Erdogan dengan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP)-nya berhasil mengembalikan Turki sebagaimana sebelum Kemal At-Taturk, dengan wajah Islam yang menonjol, sejatinya untuk mengubahnya membutuhkan waktu cukup lama. Awal perjuangan politiknya setidaknya bisa dilacak sejak bendirinya Partai Refah oleh Necmettin Erbakan.

Dalam proses mengembalikan menjadi wajah Turki yang sekarang ini –dari mulai Erbarkan sampai Erdogan– dilakukan dengan mengikuti mekanisme politik yang ada di Turki. Necmettin sampai Erdogan sama sekali tidak pernah menegasikan sistem politik yang tengah berlangsung di Turki. Sebaliknya mengikuti semua mekanisme politik yang berlaku, termasuk dengan mendirikan partai politik dan terlibat dalam pemilu.

Sebaliknya, HTI justru tegas menyatakan demokrasi sebagai sistem kufur, termasuk menolak keberadaan partai politik sebagai produknya, seperti tergambar dalam karya Amir Hizbut Tahrir (1977-2003) Abdul Qadim Zallum, ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr: Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Dakwatu Ilaiha. Pandangan ini kontras dengan demokrasi yang tegas menjadikan partai politik dan pemilu sebagai instrumen politik paling penting yang digunakan dalam proses pergantian kepemimpinan. Dengan kata lain tak mungkin tidak untuk merubah negara harus melalui pemilu dan partai.

Sementara Indonesia, negara yang hendak diubah menjadi Negara Khilafah adalah negara yang sudah bersepakat menjadikan demokrasi sebagai the rule of games dalam praktek politiknya. Artinya, untuk mengubah Indonesia menjadi Negara Khilafah, HTI harus beradaptasi dengan sistem politik Indonesia. Caranya, HTI harus mau menerima demokrasi sebagai sistem politik, tak bisa lagi dianggap sebagai sistem kufur, meski di dalamnya terdapat banyak titik kelemahan.

Selain itu, “kelamin politik” HTI harus jelas, dengan bersedia mengubah diri menjadi partai politik. Bukan sekadar namanya Hizbut Tahrir  yang kalau diartikan bisa berarti “Partai Pembebasan”. Lebih dari itu semua, HTI juga harus mau menerima Pancasila sebagai ideologi negara.

HTI harus mau menerima tiga hal tersebut: menerima demokrasi, menjadi partai, dan menerima Pancasila. Sementara tiga hal ini pula yang selama ini menjadi prinsip dasar perjuangan HTI. Dan untuk mengubah tiga hal prinsip ini tentu bukan perkara mudah bagi HTI. Kalau HTI tidak mau mengubahnya, maka sulit bagi HTI untuk memulai mewujudkan impiannya mendirikan Negara Khilafah.

Sampai di sini saja sudah terbayang betapa sulitnya mencari pintu masuk bagi HTI untuk mengubah Indonesia menjadi Negara Khilafah. Dengan prinsip dasar politiknya, hampir-hampir sulit bagi HTI untuk berputar haluan dengan menerima demokrasi dan mendirikan partai politik. Bahkan andaikan HTI mau “menggadaikan” diri dengan ber-taqiyah dan bersepakat beradaptasi dengan sistem yang ada pun belum tentu juga niat mengubah Indonesia menjadi Negara Khilafah akan terwujud.

Andai HTI bersedia menerima demokrasi dan mendirikan partai politik, juga tidak yakin akan begitu mudah memperoleh dukungan politik.Mainstream umat Islam Indonesia itu menolak formalisasi agama dalam kehidupan negara. Apalagi saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga sudah confirm menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dulu ketika Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan partai Islam lainnya masih berjuang menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam pun selalu menuai kegagalan, rasanya akan sangat sulit memperjuangkan berdirinya Negara Khilafah di Indonesia saat ini.

Sebelumnya kelompok Islam gagal dalam perjuangan mempertahankan kesepakatan BPUPKI dengan Piagam Jakarta-nya pada Sidang PPKI. Sidang PPKI berhasil mengubah isi Piagam Jakarta dengan membuang anak kalimat: “Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada persidangan di Konsituante, kelompok Islam juga mengalami kekalahan. Usulan mengembalikan Piagam Jakarta ditolak oleh mayoritas anggota Konstituante.

Umat Islam sedikit terhibur karena dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno masih menyebutkan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.

“Kambing Hitam” HTI

Berangkat dari prinsip dasar HTI dan berkaca pada sejarah perjuangan politik Islam di Indonesia, untuk tidak mengatakan mustahil, rasanya tidak mudah bagi HTI untuk menghadirkan Negara Khilafah di Indonesia. Karenanya, saya menilai sangat berlebihan terhadap mereka yang terus menyudutan dan mengkambinghitamkan HTI dengan tuduhan hendak menghadirkan Negara Khilafah.

Saya menduga, penyudutan terhadap HTI bukan semata “kambing hitam” terhadap HTI, tapi memang ada upaya serius dan sistematis, terutama dari kalangan islamophobia yang sengaja terus-menerus mencoba memojokkan Islam politik di Indonesia dengan menonjolkan wajah Islam yang menyeramkan dan menakutkan. Tujuannya jelas, agar kalangan islamophobia tetap mempunyai alasan atau sasaran untuk mencerca da menghina-dina Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement