Ahad 07 Jan 2018 01:46 WIB

Kompolnas: Aturan Jenderal Ikuti Pilkada Saling Bertentangan

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Bekto Suprapto, mengatakan ada pertentangan antar undang-undang (UU) yang mengatur syarat pencalonan perwira TNI dan Polri yang akan mengikuti Pilkada. Kompolnas mendorong adanya perbaikan regulasi yang mengatur pencalonan para perwira militer dan kepolisian dalam Pilkada.

Menurut Bekto, berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, jelas disebutkan bahwa anggota kepolisian tidak boleh melalukan politik praktis. UU tersebut juga berlaku bagi perwira polisi yang berencana terjun ke politik praktis.

"Dalam UU Polri jelas diatur bahwa anggota kepolisian harus mundur sebelum mencalonkan diri di Pilkada. Begitu juga dengan aturan bagi perwira TNI, " ujar Bekto dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/1).

Sebagaimana diketahui, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI juga mengatur kewajiban perwira militer untuk mengundurkan diri sebelum terjun ke politik. Sementara itu, lanjut Bekto, hal berbeda diatur oleh UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

Di dalam UU Pilkada tersebut menyebutkan para perwira polisi dan militer wajib mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai peserta Pilkada. "Artinya mereka tidakperlu mundur sebelum ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Jika demikian, ada dua aturan yang berbeda. Ini persoalan hukum yang bertentangan," lanjut Bekto.

Karena aturan yang paradoks ini, katanya, membuka peluang bagi para perwira kedua lembaga yang memang ingin berpolitik. "Karena secara aturan Pilkada ada aturannya (diatur, dibolehkan)," tuturnya.

Perbedaan aturan ini, kata Bekto, harus dibenahi mengingat ada peluang ketidaknetralan dua lembaga pada saat Pilkada maupun Pemilu. Pembenahan aturan menurutnya akan menyasar kepada jeda waktu antara pengunduran diri perwira TNI dan Polri dengan masa pencalonan sebagai calon kepala daerah atau kegiatan politik lainnya.

"Kalau di beberapa negara ada aturan, misalnya kalau dari kepolisian yang akan berpolitik diberikan waktu jeda. Macem-macem ada lima atau enam tahun jedanya. Sebaiknya ini juga diadakan di Indonesia," tambah Bekto.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement