Rabu 20 Dec 2017 22:20 WIB

Ini Kesimpulan Eksepsi Setnov dari Kuasa Hukum

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Penasehat hukum   kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto, Maqdir Ismail membacakan nota keberatan dalam sidang lanjutan setya novanto di ruangan persidangan pengadilan  tindak pindana korupsi, Jakarta, Rabu (20/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Penasehat hukum kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto, Maqdir Ismail membacakan nota keberatan dalam sidang lanjutan setya novanto di ruangan persidangan pengadilan tindak pindana korupsi, Jakarta, Rabu (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) Setya Novanto kembali menjalani persidangan lanjutan di Pengadilan Tipokor Jakarta, Rabu (20/12). Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari kuasa hukum Novanto.

Dalam eksepsinya, kuasa hukum Novanto Maqdir Ismail mengatakan surat dakwaan yang didakwakan kepada Novanto mengandung cacat yuridis karena dibuat berdasarkan berkas perkara hasil penyidikan yang tidak sah.

"Sehingga mengakibatkan surat dakwaan tidak dapat diterima dan surat dakwaan disusun secara tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga harus dibatalkan," tegas Maqdir di dalam ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/12).

Dalam nota keberatannya, Maqdir pun menyimpulkan, surat dakwaan tidak dapat diterima. Pertama, surat dakwaan disusun berdasarkan berkas perkara hasilpenyidikan dari surat perintah penyidikan yang tidak sah. Kemudian, perhitungan kerugian keuangan negara dibuat oleh lembaga yangtidak berwenang menghitung kerugian keuangan negara, yaitu lembaga/ Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Karena yang berwenang untuk menghitung keuangan negaramenurut konstitusi hanyalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," katanya.

Kemudian, kerugian keuangan negara dalam masing-masing surat dakwaantidak diuraikan secara nyata dan pasti atau actual loss, karena dalam masing-masing surat dakwaan kerugian keuangan negara sama jumlahnya, tetapi pihak-pihak yang diperkaya atau diuntungkan berbeda sehingga tidak cermat dan tidak jelas berapa jumlah sebenarnya kerugian keuangan negara akibat perbuatan terdakwa.

Maqdir juga meminta agar Majelis Hakim membatalkan dakwaan karena tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, sehingga dakwaan kabur (obscuure libelle), dan harus dibatalkan karena melanggar azas splitsing (pengaturan pemecahan) perkara, sebagaimana terdapat dalam Pasal 142 KUHAP.

Alasannya, karena tidak adanya kesamaan perbuatan bersama-sama (deelneming), tidak adanya kesamaan tempus delictie (waktu terjadi tindak pidana) dan locus delictie (tempat terjadinya tindak pidana), tidak adanya kesamaan unsur perbuatan melawan hukum, dan penyalahgunaan wewenang, tidakadanya kesamaan penerima atau orang yang diperkaya, atau orangyang diuntungkan, yang mengakibatkan adanya perbedaan kerugian keuangan negara dalam masing-masing surat dakwaan yang didakwakan secara splitsing.

Menurutnya, uraian perbuatan materiil tentang adanya penerimaan uang oleh terdakwa dari Johannes Marliem, Anang Sugiana Sudihardja, dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo tidak terurai secara jelas dancermat bagaimana proses, sumber, pengadaan dan tata carapenyerahan uang kepada terdakwa.

Kemudian, uraian perbuatan orang lain dijadikan kesalahan terdakwa sehingga surat dakwaan menjadi tidak cermat, karena tindak pidana ini dimulai dari adanya pertemuan antara Burhanudin Napitupulu dengan Irman dari Kementerian Dalam Negeri sebagaimana tertera dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto,serta surat dakwaan Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan suratdakwaan Setya Novanto.

"Sehingga perbuatan materiil dalam tataran ini menjadi kabur dan tidak jelas," tegasnya.

Bahwa dengan berbedanya tempus delictie dan locus delictie diantara ketiga surat dakwaan tersebut mengakibatkan secara teoritis tidak jelas kapan terjadinya tindak pidana (tempus delictie) dan dimana sebenarnya locus delictie dari perkara ini.

"Hal ini erat hubungannya dengan kewenangan pengadilan mengadili pekara ini," ucapnya.

Maqdir pun memohon kepada Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan sela perkara a quo, pertama menerima keberatan atau eksepsi terdakwa.

"Kedua, menyatakan surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap serta kabur. Oleh karenanya batal demi hukum atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima," kata Maqdir.

Kemudian Majelis Hakim diminta menyatakan perkara yang menyeret Setnov tidak dapat dilanjutkan "Kemudian memerintahkan agar berkas pidana nomor 130/Pidsus TPK/2017/PN Jakarta Pusat/ atas nama terdakwa Setya Novanto dan barang buktinya dikembalikan kepada penuntut umum," ujarnya.

Maqdir juga meminta Majelis Hakim membebaskan Setnov dari rumah tahanan negara kelas 1 Jakarta Timur cabang KPK seketika setelah putusan itu diucapkan. "Kemudian melakukan rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan hukum terdakwa Setya Novanto sesuai harkat dam martabatnya," katanya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement