REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap menghadapi lanjutan sidang terdakwa perkara KTP-elektronik (KTP-el) Setya Novanto dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (20/12). KPK mengatakan, eksepsi tidak bisa masuk ke dalam pokok perkara.
"Besok akan dilakukan sidang untuk Novanto dengan agenda eksepsi dari pihak Novanto. Pihak KPK akan menghadapi saja karena hal tersebut adalah suatu proses yang wajar yang biasa dijalani oleh KPK di mana terdakwa bisa mengajukan eksepsi atau keberatan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (19/12).
Namun, Febri mengingatkan bahwa eksepsi itu tidak bisa masuk ke dalam pokok perkara. "Sebab kalau berbicara tentang pokok perkara maka kami berbicara tentang rangkaian pembuktian nanti di rangkaian persidangan berikutnya," ujarnya.
Sementara itu, KPK pada Selasa (19/12) juga telah memeriksa Novanto sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo yang merupakan Direktur Utama PT Quadra Solution dalam penyidikan kasus KTP-el. "Kami mendapat informasi yang bersangkutan dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan responsnya baik serta sudah bisa menuliskan beberapa hal seperti proses yang normal. Jadi, kalau dilihat dari kondisi tadi yang bersangkutan dalam keadaan sehat," jelasnya.
Sesuai diperiksa, Novanto enggan berkomentar terkait pemeriksaannya kali ini. Ia hanya mengatakan soal kondisi kesehatannya. "Sehat," kata Novanto yang diperiksa sekitar delapan jam tersebut di Gedung KPK Jakarta. Sebelumnya Novanto sempat mengeluh batuk.
"Terakhir kemarin yang bersangkutan mengeluh karena ada keluhan sakit batuk saja," ucap Febri.
Saat ini, Novanto ditahan di Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang Rutan KPK yang berlokasi di Gedung Penunjang Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135.000 dolar AS dari proyek KTP-el. Dalam perkara itu, Novanto didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.