REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kota Bogor menjadi kota pertama yang menandatangani nota kesepahaman terkait pemartabatan Bahasa Indonesia di ruang publik. Penandatanganan dilakukan Wali Kota Bogor, Bima Arya, dengan Balai Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di sela Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Kota Bogor di Cisarua, Bogor, Rabu (13/12).
Penandatanganan nota kesepahaman tersebut, disampaikan Bima, merupakan bagian dari upaya dan langkah Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk melakukan pemartabatan Bahasa Indonesia di ruang publik. Tidak ada lagi bahasa asing yang mendominasi di ruang publik, karena kita ingin bahasa Indonesia menjadi tuan di negaranya sendiri," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/12).
Setelah nota kesepahaman ini, Bima menjelaskan, pihaknya akan mendorong lahirnya Peraturan Wali Kota (Perwali) yang mengatur secara khusus tentang pemartabatan Bahasa Indonesia di ruang publik. Dua upaya tersebut, disampaikan Bima, lahir setelah melihat pemakaian bahasa campuran antara bahasa asing dengan bahasa Indonesia di ruang publik. "Termasuk di papan nama dan papan petunjuk jalan," ujarnya.
Padahal, Bima menjelaskan, penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik merupakan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Nota kesepahaman, disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Dadang Sunendar, bertujuan meningkatkan kerja sama dan koordinasi di Kota Bogor.
"Baik dalam pengembangan, pembinaan dan perlindungan sastra dan bahasa," ucapnya.
Dadang menambahkan, di Balai Bahasa sendiri, sebenarnya tidak anti dengan bahasa asing. Hanya saja, untuk penamaan, bahasa Indonesia seharusnya berada di atas dan bahasa asing sebagai pelengkap. Jangan sampai tidak mencantumkan bahasa Indonesia sama sekali di ruang publik.
Apabila di ruang publik dipenuhi bahasa asing, Endang menjelaskan, nanti masyarakat akan berpikir itu suatu hal yang biasa. "Padahal itu tidak diperkenankan karena dapat menghilangkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia sebagai karakter bangsa," ujarnya.