Ahad 03 Dec 2017 18:53 WIB

Kemenkes Secepatnya Lakukan Outbreak Response Atasi Difteri

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Siswa mendapatkan suntikan imunisasi Tetanus saat Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di SDN-1 Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Senin (16/10). Penyuntikan imunisasi TD (Tetanus Toxoid) dan DT (Difteri Tetanus) program BIAS Kementerian Kesehatan.
Foto: Antara
Siswa mendapatkan suntikan imunisasi Tetanus saat Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di SDN-1 Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Senin (16/10). Penyuntikan imunisasi TD (Tetanus Toxoid) dan DT (Difteri Tetanus) program BIAS Kementerian Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengaku secepatnya akan melakukan outbreak response immunization (ORI) yaitu pemberian imunisasi setelah mendapat laporan kejadian luar biasa (KLB) difteri di 19 provinsi. Namun, pelaksanaan ORI bergantung pada daerah sebagai pemilik otoritas.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Mohamad Subuh mengatakan, tahun ini sudah ada 19 provinsi yang melaporkan suspect KLB. "Hampir semua (provinsi) yang ada di Sumatra terkena kecuali Kepulauan Riau. Kemudian Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), DKI Jakarta, Sulawesi hingga kabupaten/kota di Kalimantan," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/12).

Ia menambahkan, langkah-langkah yang harus dilakukan Kemenkes dan jajarannya saat ini adalah melakukan penyelidikan dari mana asal penyakit ini, bagaimana penyebarannya, status imunisasinya. "Kemudian secepat mungkin kita lakukan ORI artinya pemberian imunisasi setelah terjadinya laporan KLB (difteri)," katanya.

Tak hanya di tingkat provinsi, ia berjanji ORI bisa diperluas, kalau perlu menjangkau kabupaten. Kemenkes diakuinya akan melakukan bantuan teknis misalnya kalau tidak ada vaksin maka Kemenkes memasok vaksin. Atau masalah teknis lainnya seperti jika daerah membutuhkan sumber daya manusia kesehatan, Kemenkes siap memberikan pendampingan.

Namun, kata dia, pelaksanaan ORI tergantung daerah apakah siap atau tidak. Ini karena daerah yang memiliki komando atau otonomi daerah. "Jadi, koridornya jelas yaitu pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten karena ada otonomi daerah," ujarnya.

Nantinya, kata dia, setiap bayi sampai usia sekolah diberikan imunisasi Difteri, Pertusis, Tetanus (DPT) yang harus dilakukan selama tiga kali sebelum usianya enam bulan. Ia menerangkan kuncinya adalah 116. Ia menerangkan arti 116 yaitu satu bulan, satu bulan, dan imunisasi ketiga diberikan setelah enam bulan.

"Makanya pesan saya adalah pentingnya imunisasi harus dilakukan karena kalau tidak difteri yang ditularkan Corynebacterium diphtheriae yang ancamannya kematian," katanya.

Padahal, kata dia, harga vaksin DPT ini sangat murah sekali hanya Rp 2 ribu. Itupun pemerintah telah menggratiskannya untuk masyarakat karena imunisasi DPT masuk dalam program imunisasi rutin karena vaksin DPT masuk salah satu sembilan imunisasi wajib.

Ia mengakui, beberapa daerah KLB difteri sudah melakukan ORI seperti Banten hingga Jakarta. "Sekitar 10-an provinsi dari 19 provinsi sudah melakukan ORI," ujarnya.

Kemenkes, kata dia, sebenarnya sudah mengingatkan bahaya penyakit ini. Ia menyontohkan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek sudah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan pada 28 April 2017 kepada seluruh gubernur dan bupati untuk waspada terhadap adanya kasus difteri. "Jadi, harusnya ditindaklanjuti daerah dan lain-lain," katanya.

Kemudian Subuh dari Direktorat P2P pada 2015 lalu sudah mengeluarkan petunjuk teknis (juknis) ke dinas kesehatan termasuk di provinsi KLB difteri bagaimana mengatasi masalah-masalah terjadinya KLB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement