REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Daerah rawan konflik pada Pilkada 2018 yang ditentukan Polri berbeda dengan daerah rawan yang ditentukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Berkaitan dengan hal tersebut, Polri memiliki indikator yang berbeda dengan Bawaslu.
"Ya, mungkin sudut pandang Bawaslu dan polri agak berbeda, karena kita ada kriteria sendiri," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (30/11).
Seperti diketahui, Polri menentukan beberapa daerah yang disebut paling rawan terjadi konflik pada Pilkada 2018. Daerah tersebut di antaranya Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Sementara, Bawaslu menyebut tiga Provinsi dinilai memilikl kerawanan tinggi. Tiga provinsi yang dikategorikan tinggi nilai kerawanannya ialah Papua, Kalimantan Barat dan Maluku.
"Penentuan Polri, menurut Setyo di antaranya ditentukan dengan sejarah penyelenggaraan Pemilu di daerah tersebut. Artinya kita pelajari sejarah bahwa disitu pernah terjadi ini kan penyelesaian seperti apa kita bisa lihat, bisa jadi pembelajaran," kata Setyo.
Meski berbeda, Setyo memastikan, Polri akan melakukan koordinasi dengan Bawaslu terkait kelancaran penyelenggaraan pilkada yang akan dilaksanakan serentak tahun depan. Dalam hal ini, Polri berfokus dalam hal pengamanan.
"Kita akan koordinasi terus dengan Bawaslu, sepanjang itu untuk kelancaran dan pengamanan pelaksanaan Pilkada itu sendiri," kata Setyo.
Untuk meminimalisasi potensi konflik, Polri puj mengajak semua stakeholder yang ada di daerah untuk berperan serta untuk mengamankan. "Pemda tidak bisa kerja sendiri, Polri tidak bisa sendiri, KPI juga, kita termasuk kerjasama tokoh masyarakat. Kita harapkan tokoh masyarakat dan agama mereka memaksimalkan paling tidak jangan provokasi," ungkap Setyo.