REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, jumlah pengungsi Gunung Agung, Karangasem, Bali per Rabu (29/11) pukul 18.00 sebanyak 43.358 jiwa. Pengungsi tersebar di 229 titik pengungsian.
Namun, belum seluruh masyarakat mengungsi dari Gunung Agung. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, meletusnya Gunung Agung yang diikuti peningkatan status Awas dan penetapan radius 8 -10 km sebagai daerah berbahaya oleh PVMBG pada Senin (27/11) kemarin memberikan dampak bahwa masyarakat harus mengungsi keluar dari radiius berbahaya tersebut.
Ada 22 desa dengan perkiraan jumlah penduduk di radius berbahaya tersebut sekitar 90 ribu hingga 100 ribu jiwa. "Mereka harus mengungsi karena mereka tinggal di kawasan rawan bencana yang ancamannya adalah bahaya dari landaan awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu pijar, dan hujan abu lebat. Sangat berbahaya dan mematikan," katanya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (29/11).
Ia mengutip berdasarkan data sementara yang dihimpun Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, jumlah pengungsi per Rabu (29/11) pukul 18.00 waktu setempat sebanyak 43.358 jiwa yang tersebar di 229 titik pengungsian. Pengungsi terdapat di Kabupaten Buleleng (5.992 jiwa), Klungkung (7.790 jiwa), Karangasem (22.738 jiwa), Bangli (864 jiwa), Tabanan ( 657 jiwa), Kota Denpasar ( 1.488 jiwa), Gianyar (2.968 jiwa), Badung (549 jiwa), dan Jembrana (312 jiwa).
Menurutnya, masih adanya sebagian masyarakat yang belum mau mengungsi disebabkan beberapa alasan. Diantaranya masih terbatasnya pemahaman masyarakat akan ancaman erupsi. Selain itu, warga yang tinggal di zona bencana merasa aman dan tidak perlu melakukan pengungsian.
"Sebagian masyarakat menganggap bahwa erupsi Gunung Agung adalah peristiwa spiritual sehingga mereka memasrahkan diri sepenuhnya pada kekuasaan Tuhan," ujarnya.
Ada juga alasan warga yang ingin menjaga ternak, lahan pertanian, dan rumahnya. Sebagian ada juga yang cenderung untuk menantang dirinya, misalnya dengan melakukan swa-foto di tempat-tempat yang berbahaya. Di media sosial sudah ada beberapa anak muda yang naik ke dekat puncak gunung dan berendam di banjir lahar hujan. "Jelas ini sangat berbahaya," katanya.
Kombinasi dari berbagai faktor tersebut kemudian menyebabkan perbedaan keputusan di antara warga. Sebagian warga mengambil keputusan sangat aman, yaitu dengan melakukan pengungsian secepat mungkin sesuai dengan rekomendasi dari PVMBG. Di sisi lain, ada pula warga yang mengambil keputusan sangat berbahaya, yaitu mereka bersikeras untuk tetap tinggal di zona bahaya.
Padahal, kata dia, Gubernur Bali telah mengimbau agar masyarakat mengungsi di seputar Karangasem saja, tidak perlu yang jauh-jauh karena akan memudahkan penanganan pengungsi. Tapi masyarakat tetap mengungsi ke luar Karangasem. Bahkan ada yang mengungsi ke Lombok.
Pemerintah terus menyampaikan imbauan dan sosialisasi kepada masyarakat agar mematuhi rekomendasi PVMBG. Semua demi keselamatan masyarakat.
Ancaman akan terus meningkat. Kemarin siang Rabu (28/11) sekitar pukul 13.00 WITA terjadi tremor menerus yang overscale disusul letusan disertai lontaran batu hingga di radius 4 km dari puncak kawah. PVMBG dan masyarakat melaporkan adanya lontaran batu dari letusan Gunung Agung. Ini sangat berbahaya. Apalagi jika letusannya letusan eksplosif vertical yang dapat melontarkan lava pijar, batu, bom, lapilli dan sebagainya.
Masyarakat dihimbau untuk mengungsi dengan tertib dan tenang. Ia menyebut pemerintah pasti akan memberikan bantuan di pengungsian sesuai dengan ketentuan yang ada.
Sementara itu, Bupati Karangasem telah menetapkan keadaan tanggap darurat bencana di Kabupaten Karangasem selama 14 hari mulai 27 November 2017 hingga 10 Desember 2017. Ini karena mengingat bahaya letusan Gunung Agung makin meningkat.