REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik perlu mundur atau tidaknya Menteri Sosial Indar Parawansa dari menteri kabiner Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terus kencang, menyusul tahapan Pilkada 2018 semakin dekat. Ada sejumlah pihak mengatakan Khofifah tak perlu mundur, cukup cuti jika mengacu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Namun tak sedikit pula yang menilai kepatutan agar Khofifah melepaskan jabatan menterinya saat akan berkontestasi menuju kursi Gubernur Jawa Timur, meski tidak diwajibkan mundur dalam UU Pilkada. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai jabatan menteri menyangkut urusan seluruh rakyat Indonesia secara nasional.
Apalagi menteri sosial, lanjut Mardani berkaitan urusan penting dan strategis yang tentu berkaitan urusan yang luar biasa berat. Terlebih komando urusan sosial, semua berada di tangan Khofifah selaku menteri sosial.
"Kalau beliau mau maju di Pilgub ya beban Pilgub itu berat, apalagi jatim. Dengan mempertimbangkan esgala hal kalau scara hukum tak wajib mundur. Tapi kalau ngikut pada etika dan panggilan hati nurani mestinya segera memisahkan dua pekerjaan itu," kata Mardani saat dihubungi wartawan pada Rabu (29/11).
Karenanya Mardani menilai perlu kesadaran bagi Khoffah untuk mundur dari jabatannya tersebut. Sebab, jika Khofifah tetap menjabat sebagai Mensos dan memilih cuti saat melaksanakan tahapan Pilkada 2018 banyak mengorbankan kepentingan lebih besar.
Tak hanya itu, Wakil Sekretaris Jenderal PKS itu menilai Khofifah akan menjadi beban politik bagi Presiden Jokowi yang sejak awal mengkampanyekan jargon kerja kerja, kerja.
"Karena beliau kan sudah mngingatkan kabinetnya kan kabinet kerja. Apa yang beliau katakan kerja kerja dan kerja. Delapan bulan dari total mungkin sisa katakanlah 20 bulan ke depan. Itu kasihan Pak Jokowi. Secara etika dia mundur saja dulu. karena memberikan beban pada Jokowi kalau tidak mundur," kata Mardani.