Sabtu 25 Nov 2017 01:00 WIB

Para Zeka dan Akrobat Papa

Sebuah tiang listrik dipasangkan poster bertuliskan kalimat sindiran untuk Ketua DPR Setya Novanto di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (20/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sebuah tiang listrik dipasangkan poster bertuliskan kalimat sindiran untuk Ketua DPR Setya Novanto di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (20/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)

Di zaman pemerintahan Stalin, Uni Soviet punya ribuan kamp tahanan. Membentang di daratan negara yang berpaham Komunis, itu.

Kamp itu berisi para tahanan yang disiksa dengan keji. Mereka juga diperintahkan kerja paksa.

Menurut Wikipedia, sebagian pengarang merujuk seluruh tahanan dan kamp di sepanjang sejarah Soviet (1917–1991) sebagai Gulag. Gulag cabang dari Badan Keamanan Negara yang mengoperasikan sistem hukuman berupa kamp kerja paksa dan kamp transit serta penjara terkait.

Secara harfiah, Gulag berarti Administrasi Kamp Utama. Resmi didirikan 25 April 1930 dan baru dibubarkan 25 Januari 1960.

Sebuah istilah sehari-hari untuk tahanan di Gulag Soviet kerap disebut Zeka. Ada pula yang menyebutnya Zek. Dalam bahasa Rusia, Zeka artinya tahanan, tawanan atau orang-orang yang dipenjarakan.

Meski Gulag memenjarakan puluhan juta orang, namanya baru terkenal melalui buku Aleksandr Solzhenitsy tahun 1973: Kepulauan Gulag. Ia menamai kamp-kamp tahanan itu dengan sebuah kepulauan.

Para Zeka atau orang-orang yang dipenjarakan di kamp Gulag: disekap, disiksa, di bawah rezim keji Komunis yang dinahkodai Stalin.

Pria keji bernama lengkap Losif Vissarionovich Dzugashvili, itu, populer dikenal sebagai Josef Stalin. Nama Stalin masuk dalam deretan penguasa diktator terkejam di dunia.

Stalin juga dianggap sebagai sosok gila kekuasaan, maniak, tidak berperikemanusiaan. Jutaan warganya tewas di tangan diktator itu.

Kekuasaannya lebih lama dibanding pendahulunya, yang sama-sama Komunis dan super kejam, Lenin. Stalin juga membina hubungan dekat dengan pimpinan Komunis Mao Zedong, dan pentolan Komunis Korut, Kim Il-sung.

Sekjen Partai Komunis Uni Soviet itu tak segan menebar teror pada para Zeka. Para tahanan mendapat perlakuan bengis, yang diabadikan dalam kesaksian: Aleksandr Solzhentisyn.

Solzhentisyn sendiri pernah dijebloskan dalam kamp tahanan itu selama delapan tahun, 1945-1963. Ia memperkirakan, tiap tahun Stalin memenjarakan 13-15 juta orang. Termasuk wanita dan anak.

Kehidupan manusia Zeka, digambarkan begitu mengenaskan. Mereka dikirim ke kamp kerja paksa, disiksa, dibunuh tanpa tahu kesalahannya.

Entah berapa juta orang yang dipenjarakan dengan bermodal tuduhan, tanpa pengadilan. Tanpa tahu apa kesalahannya, termasuk Solzhentisyn.

Ia sendiri, padahal, pernah berjasa terhadap Tentara Merah ketika Perang Dunia II. Tetap saja dipenjara. Tetap saja menjadi bagian manusia Zeka.

Para Zeka yang mampu bertahan hidup harus menukar rasa kemanusiaannya. Harus rela menjadi penjilat, pengkhianat dan membunuh rasa belas kasih terhadap sesama Zeka.

Solzhentisyn mengakuinya. Terpaksa ia menuruti Stalin menjadi informan, agar bisa bertahan hidup.

Selepas bebas, ia menuliskan kehidupan manusia Zeka​ yang disiksa sedemikian rupa di bawah tangan besi Stalin.

Kekejaman penguasa dan kepedihan jerit tangis tahanan kerap kita baca atau dengar dari zaman ke zaman.

Untungnya di zaman now, di Indonesia, tak ada manusia Zeka. Sebaliknya, justru orang-orang yang patut diduga kuat bersalah atas perbuatannya: berakrobat sedemikian rupa agar tak dijebloskan ke penjara.

Mereka kebanyakan orang-orang yang merugikan keuangan negara. Ya, betul. Mereka lah yang terlibat kejahatan finansial.

Sedangkan dampak kejahatan finansial berefek pada kejahatan politik dan sosial. Efek dominonya: tercipta gurita kemiskinan, pengangguran, ketidak adilan, kemandulan hukum, dan ujungnya kerusakan peradaban.

Koruptor adalah salah satu pelaku kejahatan finansial. Tapi para koruptor dan yang disangkakan sebagai koruptor justru lebih lihai dan galak dibanding penegak hukum.

Akrobat itu dilakukan untuk menghindar jadi pesakitan. Dan akrobatnya kita saksikan sebulan belakangan. Aktornya tak main-main: Ketua DPR, yang terkenal disebut papa.

Papa disangkakan tersandung dugaan korupsi KTP-el oleh KPK. Proyek itu merugikan negara Rp 2,3 triliun. Uang sebesar ini serupa dengan APBD sebuah kota/ kabupaten di daerah.

Dengan kata lain, nilai korupsi proyek KTP-el bisa digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah selama satu tahun. Menghidupi jutaan orang.

Dan papa, yang disangkakan terlibat dalam pusaran korupsi itu amat lihai memainkan akrobatnya. Bisa dibilang lebih mengesankan dibanding langkah KPK.

Dari yang sakit lalu sembuh mendadak usai menang Praperadilan pertama. Kemudian menghilang saat kembali disangkakan dan muncul dalam kecelakaan yang fenomenal.

Sampai-sampai para gamers menciptakan kreativitas unik. Game-game bernuansa: tiang listrik, langsung bermunculan di Play Store.

Bagi pengguna android, bisa mengunduhnya di Play Store. Tinggal klik: tiang listrik, bermunculan ragam game itu.

Mulai game bertajuk: Tiang Listrik, Tabrak Tiang Listriknya, Emak-emak matic Tabrak Tiang Listrik, sampai game Save Tiang Listrik.

Hebatnya papa. Dan papa, seperti Ahok. Ulah keduanya mampu membuat gaduh seisi bangsa. Mengalihkan kasus-kasus dan masalah substansial negeri lainnya. Kelesuan ekonomi, misalnya. Itu tertutup akrobat papa.

Ketika ditahan pun, papa masih saja mengirim surat perlawanan agar jabatannya tak dilengserkan, baik sebagai Ketum Golkar maupun ketua parlemen.

Surat itu pun sakti. Sampai oretan ini ditulis, jabatan papa tetap aman. Seorang yang ditahan KPK pun masih belum bisa dipastikan melanggar etika. Dua kali jadi tersangka. Hebat bukan?

Lamat-lamat makna etika pun menjadi buram. Kita tentu masih ingat saat stempel "papa" disematkan pertama kali dalam kasus papa minta saham.

Papa melepaskan kursinya di parlemen. Lalu, kasus itu tenggelam, papa naik lagi. Saat ini, papa disangkakan kedua kali. Tapi melalui surat wasiatnya, ia enggan melepaskan jabatannya.

Papa malah kembali mengajukan Praperadilan, yang akan dihelat 30 November 2017. Sebelum disangkakan untuk kedua kalinya, selama dipanggil KPK, berkali-kali ia pun mangkir.

Mangkirnya papa diikuti buah hatinya: Rheza Herwindo. Sedangkan istri papa, Diesti telah resmi dicekal ke luar negeri untuk enam bulan ke depan.

Nasib papa kini ada di palu Hakim Kusno, yang dikenal tegas. Rekam jejaknya mewangi. Beberapa kasus besar yang melakukan Praperadilan, ditolak mentah-mentah oleh Kusno.

Akankah papa ditolak juga? Tapi, papa bukanlah Zeka. Bahkan rumahnya saja, jika dibandrol, setara satu komplek di Citerep.

Itu belum termasuk aset lain. Seperti kendarannya. Mobilnya: Alphard, Vellfire, Jeep Commander, Camry. Mobil dinas yang biasa dipakai: Lexus, Jaguar XJ. Belum lain-lainnya.

Papa bak bumi langit dengan para Zeka. Kesaktiannya mengalahkan rengekan anak kecil pada ibunya. Tingkahnya lucu-lucu menggelikan. Sukses membuat hiburan.

Saat disidik, papa selalu tidur hingga dikaitkan dengan penyakit langka: narkolepsi. Tapi di dalam rutan KPK, ia mengaku malah tak bisa tidur.

Benar-benar menggelikan akrobatnya. Dan papa adalah ketua parlemen Indonesia. Menahkodai lembaga tinggi negara. Dua kali tersangka masih dipertahankan juga.

Entah dimana dan apa itu etika? Akrobat papa mampu menguburnya. Alih-alih hara kiri seperti orang Jepang. Alih-alih mengundurkan diri. Ia baru mau mundur bila kalah dalam Prapeadilan.

Sebelum itu, papa justru mengirimkan surat wasiat sakti. Statusnya sebagai tahanan tetap ambisi pada jabatan. Berkebalikan dengan beberapa koruptor lain, yang begitu disangkakan segera mengundurkan diri.

Dimana rasa malu pejabat saat ini? Padahal tak ada satu pun koruptor di negeri ini diperlakukan seperti Zeka di masa Stalin. Sebaliknya mereka malah diperlakukan istimewa.

Bukankah koruptor adalah teroris sejati yang memiskinkan anak-anak negeri? Bahkan merobek-robek peradaban. Mereka amat lihai bersembunyi di balik varian kemasan.

Mudah-mudahan ke depan, hukuman bagi koruptor dan pelaku kejahatan finansial lain tak hanya ditujukan bagi pelakunya.

Tapi juga bagi keturunannya, yang langsung maupun tidak, sedikit atau banyak merasakan hasil korupsinya: limpahan harta yang bukan haknya.

Shalaallahu alaa Muhammad.

 

*) pemerhati masalah sosial

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement