Selasa 14 Nov 2017 18:37 WIB

Vonis Buni Yani, Fahira: Hakim Banyak Abaikan Fakta Sidang

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris.
Foto: Dok Humas DPD RI
Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris.

REPUBLIKA.CO.ID,  BANDUNG -- Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris mengatakan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung banyak mengabaikan fakta persidangan dalam memutuskan vonis terhadap Buni Yani dalam kasus pelanggaran UU tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE). Dalam sidang yang digelar Selasa (14/11), Buni Yani divonis dengan hukuman satu tahun enam bulan penjara.

Fahira mengatakan, berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara, yang menyatakan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersalah karena merendahkan dan menghina Surat Al-Maidah ayat 51, hakim secara tegas menyatakan tidak ada hubungan antara Buni Yani dengan Ahok. Namun menurutnya, hal tersebut tidak menjadi pertimbangan oleh Majelis Hakim PN Bandung.

"Ini sesungguhnya aneh. Oleh karena itu, saya mendukung langkah penuh Tim Kuasa Hukum Buni Yani mengajukan banding. Kami akan terus kawal Buni Yani menjemput keadilan," katanya berdasarkan siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (24/11).

Selain itu, tuduhan jaksa yang dipatahkan oleh tim pengacara Buni Yani, yang juga dikuatkan oleh beberapa pakar hukum Indonesia, seperti Profesor Yusril Ihza Mahendera dan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Profesor Dr M Muzakir, tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Dan tetap menetapkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Buni Yani merupakan tindakan melawan hukum.

Fahira dan elemem masyarakat lain yang sejak awal juga ikut mengawal kasus Buni Yani, sangat menyayangkan putusan Hakim PN Bandung yang menyatakan bahwa unggahan video oleh Buni Yani telah menimbulkan keresahan. Dimana sebelumnya, putusan hakim Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara secara tegas menyatakan, bahwa keresahan yang timbul di masyarakat terjadi karena ucapan Ahok yang mencederai perasaan dan memecah kerukunan umat.

"Dasar tuntatan JPU yang menuntut Buni Yani kan sama dengan kesimpulan-kesimpulan JPU kasus Ahok, yang saat membacakan tuntutan menyatakan bahwa unggahan video oleh Buni Yani telah menimbulkan keresahan. Dan seperti yang kita ketahui bersama kesimpulan ini dibantah tegas oleh hakim PN Jakarta Utara. Tetapi kenapa pendapat hakim PN Bandung malah bertolak belakang," ujarnya.

Menurutnya, pertimbangan hakim bahwa Buni Yani terbukti secara sah bersalah melakukan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik, juga lari dari fakta persidangan. Sebagai seorang dosen komunikasi dan sangat memahami UU ITE, lanjut Fahira, Buni Yani membuat tanda tanya sebagai tanda mengajak warganet berdiskusi soal isi video.

"Jadi tidak ada mengedit apalagi mengubah isi video. Video tersebut memang sudah viral. Postingan ajakan diskusi adalah hal yang biasa, tidak melanggar hukum dan hal yang biasa di dalam sebuah negara demokrasi. Tetapi karena saat itu, Buni Yani berani mengkritisi seorang pejabat publik yang begitu berkuasa tetapi melakukan kesalahan fatal, Buni Yani menjadi sasaran kemarahan dan dendam," jelasnya.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan terhadap terdakwa kasus dugaan pelanggaran UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Buni Yani pada Selasa (14/11). Buni Yani dinilai bersalah atas kasus penyebaran video mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat berpidato di Kepulauan Seribu, Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement