Senin 13 Nov 2017 14:21 WIB

Pengamat: Kasus Dua Pimpinan KPK Kental Aroma Politis

Rep: Mabruroh/ Red: Bayu Hermawan
Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago
Foto: Istimewa
Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pangi Syarwi Chaniago menilai, kasus Setya Novanto (Setnov) telah memunculkan kesan saling tarik menarik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan DPR RI. Padahal jika mengacu pada UU Pemberantasan Korupsi, maka kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Setnov harus didahulukan untuk dituntaskan.

Pangi menilai, Baik DPR, Polri dan juga KPK seolah sama-sama ingin menunjukkan kekuatannya masing-masing. “Ini politik saling sandera, tiga lembaga ini saling ingin merebut pengaruh lebih kuat,” ujar Pangi saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Senin (13/11).

Pangi menerangkan, KPK memiliki kekuatan dengan alat bukti yang dimilikinya untuk menjerat Ketua DPR RI itu sebagai tersangka kasus korupsi KTP Elektronik. Kemudian Polri juga ingin bertindak profesional dengan terus mengusut laporan yang menyeret pimpinan KPK ini. "Sementara DPR juga melakukan Pansus Angket terhadap KPK. Jadi ini mana yang paling kuat tarik tambangnya saja," katanya.

Pasal 25 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No 20 tahun 2001 bahwa proses penyidikan penuntutan, dan persidangan kasus Tindak Pidana Korupsi harus diprioritaskan dibandingkan dengan pidana lainnya. Menurut Pangi, perihal kasus prioritas ini bagi masing-masing lembaga tentu yang prioritas adalah kasus yang dihadapinya. Namun dalam sudut pandangnya kasus yang menyandera pimpinan KPK ini dianggap penuh dengan aroma politisi.

"Saya bukan orang hukum jadi tidak tahu apakah kasus yang menyandera pimpinan KPK ini murni pidana atau (ada) alasan-alasan lain, tapi ini memang sangat kental aroma politisnya," jelasnya.

Pangi menyarankan agar semua kasus dapat berjalan beriringan dan transparan. Pasalnya publik pun nampaknya mulai jenuh dengan menyaksikan dagelan-dagelan politik dalam perkembangan kasus korupsi KTP Elektronik tersebut.

"Publik ini menyaksikan bagaimana dalam politik itu memuakkan, membuat kita mulai jemu dan bosan dengan dagelan politik saling sandera, berebut pengaruh, (dan) banyak kepentingan bermain di sana," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement