REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Setya Novanto mangkir untuk ketiga kalinya dari panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus e-KTP. Alasannya KPK tak memiliki izin dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan pemeriksaan terhadap dirinya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menilai, KPK tak perlu mengantongi izin dari Presiden Jokowi untuk melakukan pemeriksaan.
"Kalau sudah jadi tersangka enggak (perlu izin presiden). Memang betul untuk beberapa hal presiden harus tahu. Tapi untuk korupsi memang pada akhirnya harus cepat, tidak usah berbelit-belit. Jadi izin presiden tidak diperlukan," kata Asep saat dihubungi Republika.co.id, Senin (13/11).
Asep menjelaskan, terkait putusan Mahkamah Konstitusi soal izin memeriksa anggota legislatif, tak berlaku pada kasus tindak pidana korupsi. Sebab, korupsi termasuk kejahatan yang luar biasa. Sehingga dibutuhkan prosedur yang tak berbelit-belit.
"Sekarang ini dalam tindak pidana korupsi tidak perlu izin presiden. Setahu saya ada perubahan regulasinya seperti itu. Mengapa? Karena (korupsi) dianggap kejahatan luar biasa," katanya.
Apabila terdapat izin dari presiden, lanjut dia, justru penegakan hukum tak bisa dilakukan secara adil. Ia pun menyarankan agar KPK bertindak tegas dalam menangani kasus-kasus korupsi. Selain itu, cara yang ditempuh juga harus memenuhi prosedur.
"Tapi KPK harus firm betul, pastikan betul prosedur penetapan tersangka harus dipenuhi. Ketika dia mangkir terus, harus ada upaya paksa,” kata Asep.
Seperti diketahui, Setya Novanto kembali tak hadir dalam pemeriksaan KPK. Pemanggilan Setnov yang ketiga kalinya ini dilakukan untuk memeriksa keterangannya sebagai saksi dalam kasus e-KTP untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.