Kamis 02 Nov 2017 00:49 WIB

Tolak, Uji Materi Pengurangan Masa Hukuman Koruptor!

Rep: Taufik Alamsyan Nanda/ Red: Agus Yulianto
Anggota YLBHI Julius Ibrani (kiri) memberikan pemaparannya bersama Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma (kedua kiri) dan Rohaniawan Romo Benny (kanan) saat berdiskusi dengan media di Gedung YLBHI, Jakarta.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Anggota YLBHI Julius Ibrani (kiri) memberikan pemaparannya bersama Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma (kedua kiri) dan Rohaniawan Romo Benny (kanan) saat berdiskusi dengan media di Gedung YLBHI, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim advokasi pro pembatasan remisi untuk koruptor mendesak Mahakmah Konstitusi (MK) untuk menolak permohonan untuk pengujian Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Permohonan tersebut berisi pengurangan masa hukuman yang sedang dijalani narapidana kasus korupsi.

"Upaya yang dilakukan oleh para pemohon dapat dilihat sebagai siasat untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman," ujar Sekretaris Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Julius Ibrani, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (1/11). Hal ini dikarenakan selain argumentasi yang prematur, pemohon adalah narapidana korupsi yang tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam argumentasinya, pemohon uji materi menilai, bahwa remisi merupakan hak seluruh narapidana (Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995). Namun pada kenyataannya, para pemohon yang merupakan terpidana kasus korupsi hingga kini tidak mendapatkan hak tersebut. Padahal, menurutnya telah berkelakuan baik selama menjalani masa hukuman. Sehingga menilai, hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran atas hak asasi manusia.

Sementara menurut tim advokasi pro pembatasan remisi untuk koruptor, setidaknya ada beberapa alasan agar Mahkamah Konstitusi menolak pengujian yang diajukan oleh pemohon. Di antaranya, pemohon terpidana kasus korupsi tidak memenuhi syarat mendapatkan remisi. Meskipun disebut sebagai hak narapidana, namun ada tata cara dan syarat yang mengatur pemberian remisi.

"PP 99/2012 mengamanatkan syarat tambahan bagi narpidana kasus korupsi yaitu menyandang status justice collaborator dan telah membayar denda/uang pengganti," kata Julius. Ia melihat bahwa syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pemohon yang mengajukan permohonan pengujian UU 12/1995.

Selanjutnya, pengetatan remisi adalah kebijakan hukum pemerintah. Pengetatan remisi dalam PP 99/2012 merupakan bentuk kebijakan hukum terbuka pemerintah. Dimana UU 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (2) mengamanatkan tata cara pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Pemerintah. Sehingga cara pemberian remisi merupakan sepenuhnya kebijakan pemerintah.

Selain itu, putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 dan 63 P/HUM/2015 menguatkan keberadaan PP 99/2012. Mahkamah Agung melalui dua putusannya menilai, bahwa pengetatan remisi bagi narapidana korupsi, bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, melainkan merupakan konsekuensi logis dari nilai atau bobot kejahatan korupsi yang memiliki dampak luar biasa.

"Pengetatan remisi sejalan dengan semangat United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC)," kata Julius. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi juga menilai korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Dalam beberapa putusan MK menyebutkan Korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan diperlukan cara-cara yang luar biasa dalam menanggulanginya.

"Tidak didapatkannya hak remisi pemohon bukan merupakan bentuk diskriminasi melainkan konsekuensi dari syarat-syarat yang diatur dalam PP 99/2012 yang memperketat pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi," kata Julius. Dalam hal ini PP 99/2012 tidak menghilangkan hak tersebut melainkan hanya memperketat pemberian hak tersebut. Pengetatan itu merupakan kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi dan bukan merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement