REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Majelis Pertimbangan Pusat DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini menyebutkan, di partainya, untuk menentukan kepala daerah itu ada mekanisme dan sistemnya. Meski begitu, kata dia, jangan pula menganggap seseorang melakukan manuver politik apabila orang tersebut menghadiri undangan suatu acara dari partai politik tertentu.
"Biasanya, tidak ada ruang atau tidak dibolehkan bermanuver untuk kepentingan pribadi. Bu Netty sebagai istri gubernur atau Pak Aher sebagai Gubernur Jabar tentu milik semua rakyat Jabar, ormas, dan bahkan partai politik yang ada di Jabar," ujar Jazuli kepada Republika.co.id, Rabu (11/1).
Karena itu, menurutnya, ketika mereka diundang oleh ormas, institusi, atau partai politik sekali pun dengan kapasitasnya sebagai pejabat, wajar jika mereka hadir. Dan, kata Jazuli, dengan mereka menghadiri undangan untuk acara tersebut, tidak serta merta dapat divonis sebagai manuver politik.
"Tidak serta merta atau kita vonis sebagai manuver politik dalam kapasitasnya sebagai gubernur atau istri gubernur," terang Jazuli.
Soal potensi koalisi nasionalis-religius, Jazuli menanggapinya dengan konsep dasar negara. Menurutnya, bangsa dan negara Indonesia, sejak didirikan memang sudah berkonsep nasionalis-religius. "Makanya Pancasila itu yang pertama berbunyi 'Ketuhanan yang Maha Esa'. Dan (itu) tidak ada kaitannya dengan gabungnya suatu partai tertentu di dalam Pilkada," jelas dia.
Sebelumnya, Netty Heryawan menyebutkan bisa saja PKS dan PDI Perjuangan (PDIP) berkoalisi pada Pilgub Jawa Barat 2018. Apabila koalisi terwujud bisa diberi nama Koalisi Nasionalis-Religius. "Saya kira kalau PKS dan PDI Perjuangan berkoalisi, saya akan ada di dalamnya, meskipun bukan saya kader yang diusung, namun saya terus membantu," kata Netty Heryawan, usai menghadiri peringatan Hari Sumpah Pemuda yang diadakan PDI Perjuangan, di Bandung, Sabtu (28/10).