REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan, Manajer Umum GA & HRD PT.Gajah Tunggal Tbk, Ferry Lawrentus Hollen tidak memenuhi panggilan penyidik KPK. Sedianya, pada Rabu (1/11) hari ini, penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap anak buah Sjamsul Nursalim itu, sebagai saksi untuk Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Syafruddin adalah tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Belum ada informasi terkait ketidakhadiran saksi," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Rabu (1/11).
Diketahui, Sjamsul Nursalim adalah salah satu obligor penerima aliran dana BLBI merupakan salah satu pemilik saham di PT Gajah Tunggal, Tbk. Sampai saat ini, KPK juga belum berhasil meminta keterangan Sjamsul Nursalim. Sjamsul Nursalim sudah dua kali dipanggil bersama istirinya Itjih Nursalim, namun selalu mangkir.
Saat ini, Sjamsul berada di Singapura. "Keberadaan Sjamsul dan istrinya diduga berada di Singapura. Kita juga telah bekerja sama dengan otoritas pihak setempat untuk menyampaikan surat panggilan tersebut," ujar Febri.
Sebelumnya, pada Senin (30/10), Syafruddin menjalani pemeriksaan untuk ketiga kalinya sebagai tersangka. Febri mengungkapkan, dalam pemeriksaan ketiga tersebutpenyidik mendalami lebih lanjut peran dari Syafruddin sebagai pimpinan BPPN pada saat itu yang menerbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim.
Meskipun sudah kembali diperiksa, KPK belum juga melakukan penahanan. Menurut Febri, Syafruddin tidak langsung ditahan lantaran penyidik masih harus mengumpulkan bukti-bukti dalam penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim tersebut.
KPK pada April lalu menetapkan Syafruddin sebagai tersangka dalam kasus BLBI. KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Kasus ini telah melalui proses penyelidikan di KPK sejak 2014 lalu. Syafruddin yang menjabat sebagai ketua BPPN sejak April 2002 ini menyampaikan usulan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Mei 2002. Isi usulan tersebut, yakni agar KKSK menyetujui terkait perubahan proses litigasi BDNI menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.