Ahad 29 Oct 2017 10:48 WIB

Reklamasi: Area Pertempuran Rakyat Vs Konglomerat

 Warga menjemur ikan asin yang sudah dimasak secara tradisional di Kampung Nelayan Muara Angke, Jakarta, Senin (11/9).
Foto:
Ribuan nelayan bersama LSM melakukan aksi simbolis menyegel pulau G proyek reklamasi di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. (ilustrasi)

Rasa curiga dan cemas rakyat semakin membesar ketika Gubernur dan Wagub DKI yang baru dipanggil oleh presiden dan juga LBP di kesempatan yang berbeda. Hal ini bisa dirasakan dari ramainya berita dan santernya diskusi di medsos. Bagi rakyat, Gubernur dan Wagub DKI seolah menjadi benteng pertahanan terakhir untuk menghalangi reklamasi. Dan inilah janji Anies-Sandi yang menjadi alasan sebagian masyarakat Jakarta memilihnya saat pilgub beberapa waktu lalu.

Ketiga, perang opini kedua belah pihak terus berlanjut. Pemerintah pusat melalui Menko Maritim dan Sumber Daya selalu beralasan bahwa reklamasi sudah dimulai sejak Orde Baru. Terbitnya kepres No 12 Tahun 1995 adalah buktinya. Tapi ia lalai bahwa kepres tersebut cacat dan akhirnya dibatalkan. Sesuatu yang salah mestinya tidak layak untuk menjadi dasar rujukan. Mewarisi kesalahan adalah tindakan melanggengkan kedzaliman.

Pulau reklamasi yang dibangun oleh pengembang Agung Podomoro Group telah membuat Anies-Sandi dan pemerintah pusat berhadap-hadapan. Masyarakat Indonesia berharap Gubernur dan Wagub DKI melaksanakan komitmennya untuk menghentikan reklamasi. Jika tidak, hal ini akan menjadi taruhan kepercayaan konstituen yang mengamanahkan suaranya kepada mereka berdua.

Reklamasi sesungguhnya bukan pertarungan Anies-Sandi melawan pemerintah pusat. Mereka hanya pelaku lapangan yang posisinya terikat pada komitmen-komitmen dengan pihak-pihak tertentu. Anies-Sandi terikat komitmen untuk memenuhi janji kampanyenya kepada masyarakat Jakarta, sementara pemerintah pusat juga harus memenuhi komitmennya kepada pengembang karena terlanjur memberi ijin dan dukungan.

Pertempuran yang sesungguhnya adalah rakyat, tidak hanya Jakarta, tapi Indonesia karena Jakarta adalah Ibu Kota negara di satu pihak, melawan para pengembang yang terlanjur telah mengeluarkan modal besar.

Disini menjadi jelas siapa di pihak rakyat dan siapa yang berpihak kepada konglomerat?

*Tony Rosyid, Direktur Graha Insan Cendikia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement