Selasa 17 Oct 2017 01:49 WIB

Reklamasi Timbulkan Kesengsaraan Nelayan dan Perempuan

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Gita Amanda
Nelayan kerang melintasi kawasan perairan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Rabu (11/10). Jumlah nelayan kerang di teluk Jakarta terus berkurang seiring semakin jauhnya jarak tempuh untuk mencari kerang di lautan. Kondisi diperparah dengan reklamasi teluk jakarta yang juga menggusur tambak kerang mereka di laut.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Nelayan kerang melintasi kawasan perairan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Rabu (11/10). Jumlah nelayan kerang di teluk Jakarta terus berkurang seiring semakin jauhnya jarak tempuh untuk mencari kerang di lautan. Kondisi diperparah dengan reklamasi teluk jakarta yang juga menggusur tambak kerang mereka di laut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menyebutkan, reklamasi di Teluk Jakarta telah menimbulkan kesengsaraan terhadap nelayan dan kaum perempuan. Mereka harus kehilangan mata pencahariannya meski sempat mendapatkan harapan saat moratorium reklamasi dilakukan.

"Reklamasi di Teluk Jakarta telah menimbulkan kesengasaraan pada nelayan dan perempuan nelayan. Akibat reklamasi, nelayan harus kehilangan mata pencahariannya," ujar Marthin dalam keterangan pers yang diberikan pada kegiatan mengingatkan janji kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta soal reklamasi di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (16/10).
 
Ia menambahkan, keruhnya air akibat reklamasi membuat ikan bergeser menjauhi pesisir. Telur-telur ikan dan rajungan yang biasanya mudah didapatkan nelayan juga mati karena dasar laut disedot untuk reklamasi. Perempuan nelayan yang kesehariannya membantu suami untuk mengolah hasil laut juga harus beralih profesi menjadi buruh cuci.
 
"Hal ini dikarenakan hasil tangkapan menurun drastis. Kapal nelayan juga harus karam karena reklamasi membuat laut menjadi dangkal," terang dia.
 
Erna Rosalina, perwakilan dari Solidaritas Perempuan (SP) Jabotabek menyebutkan, setelah berdiskusi bersama perempuan-perempuan yang ada di Muara Angke, mereka sempat merasa senang ketika proyek reklamasi dihentikan. Kerang hijau yang ada di laut ketika itu mulai subur dan besar-besar.
 
"Di situ mereka merasa senang karena kerangnya menjadi lebih bagus lagi dan hasil tangkapan kerangnya pun lumayan. Tapi, setelah kemarin dicabut penghentiannya, mereka kembali merasakan ketakutan dan keresahan lagi akan susah mendapatkan kerang," kata Erna kepada Republika.co.id, Senin (16/10).
 
Ia menjelaskan, jangankan untuk dijual, hasil tangkapan dari para nelayan saat ini di Muara Angke juga tak cukup untuk sekadar makan keluarganya. Kondisi tersebut membuat para istri dari nelayan mencari pekerjaan lain di luar kebiasaan mereka selama ini.
 
"Mereka biasa mengolah hasil tangkapan dari suaminya. Ketika mereka tidak bisa mendapatkan sumber penghasilan dari laut, mereka harus bekerja yang lain. Jadi buruh cuci dan pembantu rumah tangga," kata dia.
 
Dengan begitu, lanjut Erna, para perempuan itu harus melakukan pekerjaan ganda. Dengan pekerjaan ganda tersebut, para perempuan itu pastinya membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih pula.
 
"Berarti mereka kan butuh waktu dan tenaga lebih banyak yang membuat mereka rentan terkena penyakit. Hasil dari diskusi dengan mereka, banyak yang mengeluhkan sakit pegal-pegal dan kram di perut," terang Erna.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement