Ahad 15 Oct 2017 15:43 WIB
Densus Tipikor Polri

Penolakan Jaksa Agung Atas Ajakan Kapolri Dinilai Tepat

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Kapolri Tito Karnavian bersama Jaksa Agung Prasetyo mengikuti evaluasi kinerja Polri dan Kejaksaan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/7).  (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Kapolri Tito Karnavian bersama Jaksa Agung Prasetyo mengikuti evaluasi kinerja Polri dan Kejaksaan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/7). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Respons Kejaksaan Agung menolak permintaan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bergabung di bawah atap Densus Tipikor Polri dinilai sebagai langkah yang tepat. Terdapat dua fungsi berbeda dari dua instansi tersebut yang seharusnya tidak berada di bawah satu pimpinan.

Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Adery Ardhan Saputro menilai, akan terjadi masalah kewenangan bila kejaksaan berada seatap dengan Densus Tipikor Polri. Densus Tipikor memiliki kewenangan dalam hal penyidikan. Sedangkan, perkara penuntutan berada di bawah kejaksaan.

Seperti diketahui, Densus Tipikor akan dipimpin oleh seorang perwira bintang dua (Inspektur Jenderal) yang notabene merupakan bagian dari penyidik. Sehingga, secara fungsional, bila digabung, penuntut berada di bawah koordinasi penyidik. "Padahal fungsinya ada check and balance, ada mekanisme pangawasan.

Kalau kepalanya penyidik itu sendiri, apakah pengawasan jadi objektif, ini mengangkangi sistem peradilan kita, bertentangan dengan KUHAP," tutur Adery di Jakarta Pusat, Ahad (15/10).

Hal ini akan bertentangan dengan prinsip Kejaksaan sebagai dominus litis, yaitu pengendali proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan. Karena itu, jika Densus Tipikor yang menggabungkan penyidikan dan penuntutan di bawah koordinasi dari Kepolisian, maka penuntut umum yang seharusnya mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan secara horizontal terhadap penyidikan, menjadi tidak berjalan dengan semestinya.

"Penuntut umum yang seharusnya secara objektif dapat mengawasi pelaksanaan penyidikan menjadi bermasalah, ketika atasan dari penuntut umum tersebut adalah anggota Polri," jelas Adery.

Dengan pengawasan penuntut umum yang tidak berjalan dengan semestinya, lanjut Adery, maka penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Densus Tipikor akan sangat rentan dengan kriminalisasi dan pelanggaran prosedural hukum acara pidana. "Bahkan struktur ini akan semakin memperkuat serta memperbesar kewenangan kepolisian tanpa pengawasan yang kuat dan menimbulkan potensi kesewenang-wenangan," kata dia.

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sebelumnya mengisyaratkan penolakan yang dilakukan oleh Kejakgung, menurut dia, bukan menjadi hal yang harus dipermasalahkan. Namun, dia masih mengharapkan adanya tim khusus untuk perkara penuntutan agar tidak bolak balik. Dia pun enggan berspekulasi terkait masa depan tim khusus itu apabila kembali ditolak. "Masih dibicarakan, jangan berandai andai," ucap dia.

Sedangkan, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menilai, bila Densus Tipikor telah dibentuk, kerja sama antara kejaksaan dan Polri diperlukan. Namun, kerja sama itu bukan berarti kedua unsur harus bergabung. "Bukan berarti kita saling membaurkan diri, bukan, tapi dalam bersinergi perlu," ujar Prasetyo di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Jumat (13/10). Menurut Prasetyo, penegakan hukum tetap harus mengacu pada UU yang ada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement