Sabtu 14 Oct 2017 01:00 WIB

Reklamasi Sejak dalam Pikiran

Heryadi Silvianto, Dosen Homebase Universitas Multimedia Nusantara
Foto: Dokpri
Heryadi Silvianto, Dosen Homebase Universitas Multimedia Nusantara

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Heryadi Silvianto *)

Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017 pada Kamis, 5 Oktober 2017 secara resmi menyatakan bahwa pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta dimulai kembali setelah sebelumnya dimoratorium oleh Mantan Menko Maritim Rizal Ramli berbekal surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor 27.1/Menko/Maritim/IV/2016, tanggal 19 April 2016. Kebijakan ini bagai membuka 'kotak pandora', penuh kontroversi dan membuka ruang konflik yang besar.

Selaras dengan rencana itu, Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat telah mengirimkan surat untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) agar bisa melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Karena surat tersebut di Parlemen terjadi dualisme, ada yang mendukung namun juga ada yang meminta ini ditunda hingga pelantikan Gubernur Baru.

Penerbitan SK Kemenko Maritim dan SK Gubernur tentu saja secara faktual akan berbanding terbalik dengan sikap calon Gubernur terpilih Anies-Sandi yang berjanji akan menghentikan reklamasi saat masa kampanye Pilkada DKI 2017. Sebuah janji kampanye yang berhasil memberi kontribusi dalam membetot suara pemilih, tentu saja ikrar itu akhirnya akan ditagih setelah 16 Oktober 2017.

Legowo itu penting

Dalam mengambil sebuh keputusan di masa transisi, bagi incumbent yang kalah sudah sepantasnya menarik garis merah dengan pemenang. Bukan justru memutus benang. Lazimnya disebut Legowo. Lapang dada dan menerima dengan berbesar hati. Mengingat reklamasi bukanlah peristiwa Proklamasi, yang harus segera dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dilakukan. Padahal masih menyimpam gelisah dan kendala diperaturan

Sikap legowo ini sudah sepantasnya dimiliki oleh segenap warga negara Indonesia agar dikemudian hari tidak menjadi preseden buruk dan sengketa kehendak.

Aktor reklamasi: dominasi dan hegemoni.

Situasi terasa rumit, karena pejabat incumbent tidak benar-benar memahami esensi pentingnya transisi demokrasi dalam mengambil sebuah kebijakan. Alih-alih memberikan landasan mulus untuk estafet kepemimpinan selanjutnya, yang terjadi justru menaruh kerikil dalam sepatu yang sempit.

Terlepas dari itu semua, jika dicermati bahwa penyokong reklamasi memang sejak awal  pikiran sadarnya tegas mengambil positioning bahwa 'Reklamasi Halal dan Legal'. Jadi, apakah reklamasi itu ada aturan dan tidak atau berdampak buruk dan tidak sudah bukan soal utama. Karena, baginya sejak awal reklamasi adalah solusi sadar dari sebuah kebijakan yang minim pertimbangan.

Karena itu, aturan harus ikuti kenyataan dan pelanggaran dianggap kewajaran. Tidak perlu melihat aturan dan menengok putusan pengadilan. Pikirannya mendasari langkahnya, terabas tanpa legalitas. Padahal, sejumlah aturan ditabrak, jika tak percaya silakan lakukan penelusuran secara mandiri di internet. Banyak dan bertebaran bukti dari instansi resmi.

Baca juga : http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/10/04/oeimc711-menyoal-proyek-reklamasi

Mahfum saja, langkah-langkah itu hingga pada akhirnya memunculkan sebuah dugaan sinis bahwa langkah mencabut reklamasi merupakan ketergesaan tanpa pijakan. Semacam peristiwa 'aji mumpung', selagi masih punya kewenangan maka disanalah kuasa bertindak. Betapa kuasa elit (hegemoni) telah secara serampangan mengkooptasi kehendak kaum marginal dan rakyat banyak (dominasi).

Pelaksanaan reklamasi pada dasarnya tidak benar-benar berhenti, meski moratorium sempat diberlakukan. Hampir tidak ada yang berubah dari aktivitas harian mega proyek tersebut. Truk-truk yang membawa material hilir mudik, excavator gesit memilah serta meratakan tanah dan tumpukan bata berpadu pasir memunculkan gedung-gedung baru ditanah buatan.

Awalnya, berprasangka baik bahwa semua itu untuk melengkapi persyaratan. Ternyata jika dicermati bukan untuk melengkapi apa yang dipersyaratkan oleh moratorium, tapi melanjutkan apa yang sudah direncanakan. Karenanya ada adagium dalam proses birokrasi di kita, "bangun dulu baru urus izinnya". Suka tidak suka itu yang terjadi.

Bagi sebagian orang melanjutkan Reklamasi sebentuk legitimasi pikiran sadar bahwa apapun yang terjadi harus tetap berjalan. Karena ini proyek besar pro investasi dan sejalan dengan napas infrastruktur. Tentu sebuah usaha yang tak kenal lelah, namun itu sebentuk usaha pengabaian ekosistem dan ekologi manusia yang selama ini mengisi pesisir Jakarta.

Secara konsitutisional reklamasi ini mengabaikan kesadaran republik terhadap apa yang menjadi miliknya sendiri sesuai pasal 33 UUD 1945 Bahwa Bumi, tanah, air dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya milik negara. Yang terjadi di Reklamasi adalah epik sebaliknya yang sedang menunjukan bahwa negara tak punya kuasa penuh. Karena uang pengembang terlanjur sudah digelontorkan, waktu telah disisihkan, dan tenaga terkuras.

Inilah akibatnya jika kebijakan dianggap sebagai sebuah legitimasi atas komoditas, hadirnya hanya dipandang peristiwa untung rugi. Tak lebih dan tak kurang. Ironis.

*) Peneliti ISLAH

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement